Nilai tukar rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Kamis (18/3/2021). Penguatan rupiah terbilang cukup tajam, sehingga berpeluang besar mengakhiri pelemahan 3 hari beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah langsung melesat 0,52% ke Rp 14.350/US$, sayangnya level tersebut menjadi yang terkuat hari ini. Penguatan rupiah sempat terpangkas hingga tersisa 0,17%, sebelum kembali menguat 0,38% ke Rp 14.370/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Sebelum hari ini, rupiah sudah membukukan pelemahan 3 hari beruntun, melihat pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF), tren negatif tersebut bisa berakhir pada hari ini. Kurs rupiah di pasar NDF siang ini memang lebih lemah ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi, tetapi masih lebih kuat ketimbang sebelum penutupan perdagangan kemarin.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Rupiah mampu menguat merespon membaiknya sentimen pelaku pasar setelah The Fed menegaskan tidak akan merubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat, meski perekonomian AS sudah membaik.
Dalam konferensi pers, ketua The Fed, Jerome Powell, mengakui perekonomian Amerika Serikat sudah membaik, bahkan proyeksi produk domestik bruto (PDB) dinaikkan cukup signifikan.
Di tahun ini, PDB Paman Saham diperkirakan tumbuh 6,5%, jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi yang diberikan bulan Desember lalu 4,2%.
Powell juga mengungkapkan pasar tenaga kerja akan terus menbaik, dan inflasi juga akan naik.
“Kami memang berharap bahwa akan ada kemajuan lebih cepat di pasar tenaga kerja dan inflasi setelah sekian tahun, berkat kemajuan vaksin, dan karena dukungan fiskal yang kita dapatkan,” tutur Ketua The Fed Jerome Powell sebagaimana dikutip CNBC International.
Tingkat pengangguran di tahun ini diperkirakan turun menjadi 4,5% dari level saat ini 6,2%. Kemudian inflasi yang menjadi acuan The Fed, personal consumption expenditure (PCE) tahun ini diprediksi tumbuh 2,2%.
Meski perekonomian AS membaik, tetapi menurut The Fed masih belum cukup untuk merubah kebijakan moneternya. Inflasi yang tinggi lebih dari 2% di tahun ini menurut Powell terjadi akibat low base affect, dimana tahun lalu inflasi merosot akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian AS mengalami resesi.
Oleh karena itu, kenaikan inflasi tersebut belum akan cukup untuk membuat The Fed menaikkan suku bunga. The Fed menetapkan target rata-rata inflasi 2%, artinya inflasi akan dibiarkan lebih dari 2% dalam waktu yang lebih lama, sebelum mulai menaikkan suku bunga.
“Saya menegaskan, kenaikan inflasi di atas 2% di tahun ini hanya sementara, dan tidak akan cukup memenuhi target kami,” kata Powell.
Secara umum, hasil rapat kebijakan moneter The Fed kali ini menegaskan kebijakan moneter masih tetap longgar meski perekonomian AS sudah membaik. Pasar finansial global menyambut baik keputusan tersebut.
Sumber CNBC Indonesia