Nilai tukar rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (6/4/2021). Rupiah kini berpeluang membukukan penguatan 2 hari beruntun dan semakin menjauhi level Rp 14.500/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,21% ke Rp 14.480/US$. Sayangnya level tersebut menjadi yang terkuat pada hari, setelahnya rupiah sempat stagnan di Rp 14.510/US$, sebelum kembali menguat 0,14% ke Rp 14.490/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Di sisa perdagangan hari ini rupiah berpeluang melaju level kencang, bahkan melewati level terkuat hari ini. Hal tersebut terindikasi dari pergerakan rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Indeks dolar AS yang merosot 0,46% ke 92,595 kemarin, membuka ruang penguatan rupiah. Hingga siang ini indeks dolar AS masih belum mampu bangkit.
Dolar AS mengalami tekanan pasca rilis data tenaga kerja pekan lalu. Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (2/4/2021) melaporkan tingkat pengangguran di bulan Maret memang turun menjadi 6% dari bulan sebelumnya 6,2%, kemudian penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll) tercatat sebanyak 916.000 orang, terbanyak sejak Agustus 2020 lalu.
Tetapi ada satu yang mengganjal, rata-rata upah per jam turun 0,1% pada bulan lalu, setelah naik 0,3% di bulan sebelumnya. Padahal, upah merupakan komponen penting dalam pemulihan ekonomi AS, serta kenaikan inflasi.
Dengan penurunan rata-rata upah per jam tersebut, laju kenaikan inflasi kemungkinan akan terhambat. Apalagi pada bulan Februari lalu, inflasi AS (yang dicerminkan oleh Personal Consumption Expenditure/PCE inti) tumbuh di 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%.
Inflasi PCE merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) untuk merubah kebijakan moneternya, ketika inflasi masih lemah, maka kebijakan moneter ultralonggar masih akan dipertahankan.
Alhasil, dolar AS melemah merespon data tersebut.
Sumber CNBC Indonesia