Nilai tukar rupiah merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (12/4/2021) hingga bablas melewati Rp 14.600/US$ dan menyentuh level terlemah dalam 5 bulan terakhir. Indeks dolar AS yang kembali menguat, serta data dari dalam negeri yang mengecewakan membuat rupiah tertekan.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.560/US$. Tetapi tidak lama rupiah langsung masuk ke zona merah, bahkan melemah hingga 0,48% ke Rp 14.630/US$. Posisi rupiah sedikit membaik, berada di level Rp 14.600/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Di sisa perdagangan hari ini, rupiah berisiko masih tertekan, terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Sebelumnya rupiah sudah membukukan pelemahan dalam 8 pekan beruntun dengan total 4,37%. Pada pekan lalu, indeks dolar AS sebenarnya mengalami penurunan nyaris 1%, tetapi tidak bisa dimanfaatkan rupiah untuk menguat.
Saat indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melemah, rupiah tidak bisa bangkit, apalagi sebaliknya. Indeks dolar AS pagi ini sudah menguat 0,12%, rupiah tentunya terpukul.
Data terbaru dari AS menunjukkan berlanjutnya pemulihan ekonomi. Jumat kemarin, indeks harga produsen (producer price index/PPI) dilaporkan meroket 4,2% pada bulan Maret. Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 9 tahun terakhir.
Selain itu, kenaikan PPI mengindikasikan roda bisnis mulai semakin menggeliat, dan para wirausahawan mulai meningkatkan aktivitasnya.
Sementara itu dari dalam negeri, data menunjukkan penjualan ritel di Indonesia masih mengalami kontraksi pada Februari 2021, baik secara bulanan (month-to-month/MtM) dan tahunan (year-on-year/YoY).
Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2021 sebesar 177,1. Terjadi kontraksi atau pertumbuhan negatif 2,7% MtM. Secara YoY, kontraksinya mencapai 18,1%.
Namun data Februari 2021 sedikit lebih baik ketimbang bulan sebelumnya. Pada Januari 2021, penjualan ritel tumbuh -4,3% MtM.
“Responden menyampaikan bahwa perbaikan tersebut didorong oleh permintaan masyarakat yang meningkat saat HBKN (Hari Besar Keagamaan Nasional) Imlek dan libur nasional. Perbaikan terjadi pada sebagian besar kelompok barang, seperti Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya, dan Suku Cadang dan Aksesoris,” sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Senin (12/4/2021).
Di bulan Maret, penjualan ritel diperkirakan akan lebih baik lagi. Responden memprakirakan peningkatan kinerja penjualan eceran berlanjut pada Maret 2021. Hal itu tercermin dari IPR Maret 2021 yang diprakirakan tumbuh 2,9% (MtM), meski secara tahunan masih berkontraksi 17,1%.
Sumber CNBC Indonesia