Nilai tukar rupiah sukses menggasak dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Selasa (20/4/2021). Jika mampu dipertahankan hingga penutupan perdagangan nanti, rupiah membukukan penguatan 3 hari beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,45% ke Rp 14.480/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat pada hari ini, setelahnya penguatan rupiah terpangkas hingga kembali ke RP 14.525/US$.
Namun pada tengah hari, rupiah kembali mempertebal penguatan, berada di Rp 14.495/US$, menguat 0,34% di pasar spot.
Tanda-tanda rupiah akan sukses membukukan penguatan 3 hari beruntun terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Pelaku pasar kini menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%. Dari 11 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, semuanya kompak melihat suku bunga tetak 3,5%.
“Setelah mempertahankan suku bunga bulan lalu, kami merasa bahwa BI cukup nyaman dalam menjaga selisih suku bunga di tengah pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS). Selain itu, bank sentral juga masih meyakini bahwa masih ada ruang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga dengan BI 7 Day Reverse Repo Rate di posisi yang sekarang. Oleh karena itu, posisi kami adalah BI akan terus mempertahankan suku bunga sepanjang 2021,” papar riset Citi.
Kemudian, Citi juga menilai stabilitas nilai tukar rupiah akan menjadi pertimbangan BI. Sebagai catatan, rupiah melemah 1,11% di hadapan dolar AS dalam sebulan terakhir. Sejak akhir 2020 (year-to-date), depresiasi rupiah mencapai 3,7%.
Helmi Arman, Ekonom Citi, menilai risiko depresiasi rupiah masih ada. Pasalnya, pemulihan ekonomi Indonesia menyebabkan impor melonjak.
Sumber CNBC Indonesia