Rupiah ngamuk pada perdagangan awal pekan kemarin, dolar Amerika Serikat (AS) dibuat melemah 0,6% ke Rp 14.195/US$. Di awal perdagangan rupiah bahkan sempat melesat 1,12% ke Rp 14.120/US$ yang merupakan level terkuat sejak 26 Februari lalu.
Rupiah memang sedang garang dalam beberapa pekan terakhir, sebabnya aliran modal yang kembali masuk ke pasar obligasi. Sejak bulan April lalu hingga hingga 4 Mei, tercatat capital inflow di pasar obligasi nyaris Rp 15 triliun, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Namun, pada perdagangan hari ini, Selasa (11/5/2021), rupiah berisiko berbalik melemah. Apalagi mulai besok hingga Jumat nanti sudah libur lebaran.
Sentimen pelaku pasar yang sedang memburuk akan membebani rupiah hari ini. Memburuknya sentimen pelaku pasar tercermin dari ambrolnya bursa saham AS (Wall Street) Senin kemarin, dan merembet ke Asia pagi ini.
Indeks S&P 500 merosot lebih dari 1%, sementara Nasdaq anjlok hingga 2,55%, hanya Dow Jones yang melemah tidak terlalu besar, 0,1%.
Akibat jebloknya kiblat bursa saham dunia tersebut, membuat bursa saham Asia yang pagi ini sudah dibuka langsung terjun ke zona merah. Indeks Nikkei Jepang merosot 2% lebih, disusul Kospi Korea Selatan minus 1,2%.
Rupiah merupakan mata uang emerging market, ketika sentimen pelaku pasar memburuk maka akan kalah menarik ketimbang dolar AS yang merupakan mata uang safe haven.
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR sukses melewati rerata pergerakan 100 hari (moving average 100/MA 100) Senin kemarin. Artinya rupiah kini berada di bawah MA 50, 100, dan 200 yang tentunya memberikan momentum penguatan.
Rupiah mampu menguat sejak pertengahan April lalu setelah munculnya stochastic bearish divergence. Stochastic dikatakan mengalami bearish divergence ketika grafiknya menurun, tetapi harga suatu aset masih menanjak.
Munculnya stochastic bearish divergence kerap dijadikan sinyal penurunan suatu aset, dalam hal ini USD/IDR bergerak turun, atau rupiah akan menguat.
Namun, pada grafik harian Stochastic sudah memasuki wilayah jenuh jual (oversold).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Artinya, indikator Stochastic akan membatasi penguatan bahkan kemungkinan memicu koreksi.
MA 100 di kisaran Rp 14.240 hingga Rp 14.250/US$ menjadi resisten terdekat, yang menjadi target jika rupiah mengalami koreksi. Namun ke depannya selama bertahan di bawah MA 100 rupiah berpeluang terus menguat.
Sementara itu, jika kembali menguat targetnya ke Rp 14.110 hingga Rp 14.090/US$.
Sumber CNBC Indonesia