Rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif dan bergerak pada rentang Rp14.410 – Rp14.470 per dolar AS hari ini.
Nilai tukar rupiah ditutup terkoreksi pada Rabu (23/6/2021) seiring dengan pernyataan The Fed terkait kenaikan suku bunga acuan dan perhatian pasar terkait penanganan pandemi virus corona di Indonesia.
“Rupiah masih akan kembali melemah pada perdagangan Kamis (24/6/2021). Rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif dan ditutup pada rentang Rp14.410 – Rp14.470,” papar Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam laporannya.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup turun 30 poin atau 0,21 persen menjadi Rp14.432,5 per dolar AS. Indeks dolar AS naik 0,01 persen ke level 91,763.
Ibrahim menjelaskan, salah satu sentimen yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah hari ini adalah pernyataan Gubernur The Federal Reserve AS Jerome Powell. Ia mengatakan suku bunga tidak akan naik terlalu cepat hanya berdasarkan ketakutan akan inflasi yang akan datang.
Powell bersaksi di depan Subkomite Pemilihan DPR pada hari Selasa, di mana ia mengulangi tujuan bank sentral untuk pemulihan pasar kerja yang luas dan inklusif.
Dia juga menambahkan bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga sebelum pemulihan ini, dengan benchmark imbal hasil Treasury 10-tahun beringsut lebih rendah sebagai tanggapan.
Pejabat The Fed telah menyatakan pandangan yang berbeda tentang kapan mungkin tepat untuk memperketat kebijakan moneter karena inflasi meningkat. Bank sentral AS mungkin berada dalam posisi untuk mulai mengurangi dukungan luar biasa terhadap ekonomi AS pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Pejabat The Fed akan terus mengawasi data ekonomi untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk mulai menyesuaikan kebijakan moneter dan setiap pembicaraan tentang kapan harus menyesuaikan suku bunga masih jauh, kata Presiden Bank Fed New York John Williams.
Sementara itu, dari dalam negeri, lonjakan penularan Covid-19 di Indonesia masih menjadi perhatian pelaku pasar. Kenaikan angka kasus positif ini dinilai bukan karena kesalahan masyarakat semata, tetapi juga kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam mengatasi pandemi.
“Ini karena kekhawatiran pemerintah terhadap ekonomi yang melambat dan padahal sudah otomatis ekonomi melambat,” katanya.
Baik pemerintah maupun masyarakat tidak mau belajar dan tidak mau mendengar pendapat para ahli wabah dan kesehatan masyarakat. Di awal program vaksinasi, misalnya, pemerintah hanya fokus untuk memberikan kepada para tenaga kesehatan dan petugas di pelayanan publik.
Program vaksin juga hanya diberikan ke masyarakat yang secara langsung berkontribusi terhadap perekonomian. Para ahli wabah atau dokter kemudian menyarankan agar para lansia yang sangat rentan terinfeksi masuk target prioritas.
Sumber Bisnis.com