Nilai tukar rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (12/7/2021). Membaiknya sentimen pelaku pasar membuat aliran modal masuk ke dalam negeri, rupiah pun mampu bertahan di bawah Rp 14.500/US$.
Melansir data Refintiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung melesat 0,45% ke Rp 14.460/US$. Setelahnya, penguatan rupiah terpangkas hingga tersisa 0,24% berada di Rp 14.490/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Rupiah berpeluang bertahan di bawah Rp 14.500/US$ hingga penutupan perdagangan nanti. Hal tersebut tercermin dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang tidak jauh berbeda siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Membaiknya sentimen pelaku pasar telihat dari penguatan bursa saham Asia. Indeks Nikkei Jepang memimpin penguatan dengan melesat lebih dari 2%.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menguat 0,8% di sesi I, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 68 miliar di pasar reguler. Jika ditambah dengan pasar tunai dan nego nilainya bahkan mencapai Rp 910 miliar.
Di pasar obligasi, aliran modal juga kemungkinan masuk melihat yield-nya yang mengalami penurunan. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, saat harga naik maka yield akan turun. Saat harga naik, artinya ada aksi beli dan kemungkinan oleh investor asing.
Meski demikian, dolar AS berpeluang bangkit sebab pelaku pasar dikabarkan menanti rilis data inflasi.
“Jika kita melihat data yang kuat, The Fed akan memajukan proyeksi mereka untuk menaikkan suku bunga dari saat ini di tahun 2023. Itu berarti tapering harus melakukan tapering lebih cepat,” kata Shinichiro Kadota, ahli strategi mata uang di Barclays, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (12/7/2021).
AS akan merilis data inflasi berdasarkan Consumer Price Index (CPI) pada Selasa besok. Data ini bisa memberikan gambaran data inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) yang dirilis belakangan, dan yang menjadi acuan The Fed.
Data terbaru bahkan menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.
Sumber CNBC Indonesia