Nilai tukar rupiah tertahan di zona merah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (19/7/2021). Bursa saham Asia “kebakaran” pada hari ini, menjadi indikasi memburuknya sentimen pelaku pasar, rupiah pun ikut kena imbasnya.
Melansir data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.495/US$. Sempat menguat tipis 0,03%, rupiah kemudian terdepresiasi hingga 0,24% ke Rp 14.530/US$. Posisi rupiah sedikit membaik berada di Rp 14.520/US$ atau melemah 0,17% pada pukul 12:00 WIB.
Rupiah masih kesulitan untuk bangkit di sisa perdagangan hari ini melihat pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang hanya sedikit lebih kuat siang ini dibandingkan dengan beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Dari bursa Asia, indeks Hang Seng Hong Kong memimpin kemerosotan sebesar 1,7%, disusul Nikkei Jepang 1,5%. Bursa saham lainnya juga minus nyaris 1%. Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga melemah 0,67%.
Rupiah jadi ikut melemah, sebab saat sentimen pelaku pasar sedang memburuk yang diincar sebagai investasi biasanya aset aman (safe haven), seperti dolar AS.
Jebloknya bursa saham Asia tersebut menjadi indikasi sentimen pelaku pasar yang memburuk. Penyebabnya, tanda-tanda melambatnya pemulihan ekonomi khususnya di wilayah Asia akibat penyebaran virus corona varian delta.
China, sebagai motor penggerak ekonomi Asia dan dunia mengalami pelambatan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Data yang dirilis dari China pada pekan lalu menunjukkan PDB di kuartal II-2021 tumbuh 7,9%, sedikit lebih rendah dari prediksi para ekonomi yang disurvei Reuters sebesar 8,1%, dan pertumbuhan 18,3% di kuartal sebelumnya.
Biro Statistik China mengatakan pertumbuhan ekonomi China masih kuat dan berkelanjutan, tetapi masih ada risiko dari penyebaran virus corona secara global serta pemulihan ekonomi yang “belum berimbang” di dalam negeri.
Sumber CNBC Indonesia