Setelah menguat 6 hari beruntun, laju penguatan rupiah tertahan pada Kamis (5/8/2021), setidaknya di awal perdagangan.
Dolar Amerika Serikat (AS) yang kembali diburu pelaku pasar membuat rupiah dalam mode defensif, selain juga menanti rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.310/US$. Setelahnya, rupiah masuk ke zona merah, melemah tipis 0,07% ke Rp 14.320/US$ pada pukul 9:10 WIB.
Sepanjang pekan ini, rupiah sudah menguat 1% lebih, dengan dolar AS yang kembali diburu pelaku pasar, tentunya wajar terjadi koreksi. Bahkan, rupiah bisa dikatakan masih kuat, melihat koreksi tipis di awal perdagangan hari ini.
Kemarin, indeks dolar AS sebenarnya merosot 0,3% pasca rilis data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) versi Automatic Data Processing Inc. (ADP) yang mengecewakan. Data ini dijadikan acuan data tenaga kerja versi pemerintah yang akan dirilis Jumat nanti. Selain inflasi, data tenaga kerja merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter, dalam hal ini tapering.
ADP kemarin melaporkan sepanjang bulan Juli perekonomian AS mampu menyerap 330.000 tenaga kerja, turun lebih dari setengah dari bulan sebelumnya 680.000 tenaga kerja, serta jauh di bawah prediksi kenaikan menjadi 695.000 tenaga kerja.
Sementara untuk data kerja versi pemerintah yang akan dirilis Jumat, hasil polling yang dilakukan Reuters menunjukkan tingkat pengangguran AS di bulan Juni turun menjadi 5,7% dari bulan sebelumnya 5,9%. Sementara perekrutan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sebanyak 880.000 orang, lebih tinggi dari bulan Mei 850.000 orang.
Hasil polling tersebut terlihat cukup bagus, tetapi dengan rilis ADP yang buruk, kemungkinan data tersebut mengecewakan kini semakin besar.
Alhasil, spekulasi tapering baru akan dilakukan tahun depan semakin menguat dan dolar AS merosot.
Tetapi tidak lama, indeks dolar AS berbalik menguat setelah wakil ketua The Fed, Richard Clarida, yang berbicara dalam sebuah acara dengan tema Outlooks, Outcomes, dan Prospects for U.S. Monetary Policy” yang diadakan oleh Peterson Institute for International Economics.
Dalam acara tersebut Clarida mengindikasikan tapering bisa dilakukan di tahun ini, dan suku bunga akan dinaikkan pada awal 2023.
Clarida mengatakan pasar tenaga kerja memang perlu perbaikan lebih lanjut, tetapi inflasi dikatakan hampir mencapai target rata-rata 2%.
“Melihat outlook tersebut dan selama ekspektasi inflasi tetapi di 2% yang merupakan target jangka panjang, normalisasi kebijakan (kenaikan suku bunga) bisa dimulai di 2023,” kata Clarida, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (5/8/2021).
Alhasil, indeks dolar AS berbalik menguat 0,21% kemarin, artinya pelaku pasar mulai memborong dolar AS lagi.
Sumber CNBC Indonesia