Rupiah lagi-lagi berfluktuasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) Senin kemarin, sebelum menguat tipis 0,04% ke Rp 14.250/US$.
Pergerakan yang sama terjadi pada Kamis dan Jumat pekan lalu pascapengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Pergerakan yang sama bisa jadi akan muncul lagi pada perdagangan Selasa (28/9), dengan potensi kembali menguat.
Sebabnya, beberapa pejabat elit bank sentral AS (The Fed) bersikap dovish. Dovish (merpati) merujuk pada arah kebijakan yang masih longgar, sementara lawannya adalah hawkish (elang) yakni pengetatan kebijakan moneter yakni kenaikan suku bunga.
Presiden The Fed wilayah Chicago yang juga masuk dalam anggota Federal Open Market Committe (FOMC) yang membuat kebijakan monter kemarin mengatakan suku bunga baru akan dinaikkan pada akhir 2023.
Ia melihat, inflasi yang tinggi saat ini hanya bersifat sementara, dan baru akan cukup tinggi dan stabil guna menjadi alasan untuk menaikkan suku bunga pada akhir 2023.
“Saya memasukkan proyeksi di waktu yang seharusnya…. Menaikkan suku bunga di 2023,” kata Evans merujuk pada Fed dot plot yang dirilis pada Kamis lalu, sebagaimana dikutip Reuters Senin (27/9).
Sementara itu Gubernur The Fed Lael Brainard mempertegas jika tapering tidak ada kaitannya dengan suku bunga. Artinya saat tapering resmi selesai, diperkirakan pada pertengahan tahun depan, bukan berarti suku bunga akan segera dinaikkan.
“Panduan ke depan untuk target tenaga kerja maksimum dan rata-rata inflasi jauh lebih tinggi agar bisa menaikkan suku bunga, ketimbang melakukan tapering. Saya akan menekankan, waktu kenaikan suku bunga tidak bisa dikaitkan dengan pengumuman tapering,” kata Brainard.
Pasca pernyataan tersebut indeks dolar AS tidak banyak bergerak, hanya mampu menguat tipis 0,08% kemarin, yang memberikan ruang penguatan bagi rupiah.
Secara teknikal, sepanjang September rupiah yang disimbolkan USD/IDR bergerak sideways dengan batas atas di kisaran Rp 14.280/US$ dan batas bawah di Rp 14.185/US$.
Sideways artinya rupiah cenderung bergerak dalam rentang harga tersebut. Kemudian, Pola Hammer masih menjadi risiko utama rupiah.
Pola Hammer tersebut masih menjadi mimpi buruk bagi rupiah, pada perdagangan Kamis (9/9) rupiah menutup perdagangan di atas pola tersebut. Artinya, pola Hammer terkonfirmasi sebagai pola pembalikan arah, rupiah patut waspada. Pola Hammer baru batal ketika rupiah melewati tail (ekor) di Rp 14.170/US$.
Meski demikian, rupiah yang disimbolkan USD/IDR masih berada di bawah rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA 50), MA 100, dan MA 200 sepanjang pekan lalu. Artinya, rupiah bergerak di bawah 3 MA yang bisa memberikan tenaga menguat.
Selain itu, rupiah juga sudah menembus ke bawah bullish trend line (garis warna merah) yang menguntungkan dolar AS.
Jika melihat grafik 1 jam, indikator stochastic di wilayah jenuh beli (overbought), yang membuka ruang penguatan rupiah.
Support berada di kisaran Rp 14.200/US$, jika dilewati maka target selanjutnya Rp 14.170/US$. Penembusan di bawah level tersebut akan membawa Rupiah menuju Rp 14.150 hingga Rp 14.120/US$, dan membuka peluang ke Rp 14.000an/US$ di pekan ini jika area tersebut juga dilewati.
Sementara rupiah masih berada di dekat resisten Rp 14.250/US$. Selama tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.280/US$ hingga Rp 14.290/US$ yang merupakan MA 200. Penembusan di atas level tersebut akan membuat rupiah merosot di pekan ini ke menuju Rp 14.350/US$.
Sumber CNBC Indonesia