Ancaman inflasi tinggi kini semakin nyata setelah China dan Amerika Serikat (AS) kemarin merilis data consumer price index (CPI).
Merespon inflasi tersebut, rupiah merosot melawan dolar AS di awal perdagangan hari ini, Kamis (11/11), hingga nyaris menembus Rp 14.300/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,25% ke Rp 14.285/US$. Setelahnya, pelemahan rupiah bertambah hingga 0,32% ke Rp 14.295/US$ pada pukul 9:13 WIB.
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin malam melaporkan CPI bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Tingginya inflasi di AS tersebut membuat yield obligasi AS (Treasury) tenor melesat 13 basis poin. Kenaikan yield tersebut merupakan respon pelaku pasar yang mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga lebih cepat guna meredam inflasi.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mengatakan tingginya inflasi di AS tidak akan terus berlangsung, dan The Fed akan bertindak jika inflasi terus tinggi agar tidak terjadi seperti tahun 1970an.
“Saya memperkirakan inflasi akan melandai dan mendekati 2% yang kita anggap normal,” kata Yellen pada National Publik Radio, sebagaimana dilansir Kitco.
“Tingginya inflasi di 1970 tidak akan terjadi saat ini, The Fed tidak akan membiarkan itu terjadi,” tambah Yellen.
Artinya, ketika inflasi terus meninggi maka The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga di tahun depan. Alhasil, indeks dolar AS meroket hingga 1% ke 94,868 kemarin yang merupakan level tertinggi sejak Juli tahun lalu. Rupiah pun terpuruk di awal perdagangan hari ini.
Sebelum Amerika Serikat, China terlebih dulu memberikan kecemasan akan terjadinya stagflasi. Stagflasi merupakan stagnannya pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan tingginya inflasi.
Pemerintah China kemarin melaporkan inflasi CPI naik 1,5% YoY di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.
Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.
Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.
Meski risiko stagflasi di Indonesia masih kecil, mengingat inflasi di Indonesia masih rendah, tetapi jika hal tersebut terjadi di China maka dampaknya akan terasa ke dalam negeri. Apalagi, Indonesia juga banyak mengimpor dari China.
Sumber CNBC Indonesia