Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (18/11) jelang pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia. Indeks dolar AS yang mengalami koreksi pada perdagangan Rabu kemarin membuat rupiah ke zona hijau pagi ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke Rp 14.230/US$. Apresiasi rupiah kemudian bertambah menjadi 0,14% ke Rp 14.220/US$ pada pukul 9:07 WIB.
Indeks dolar AS kemarin sempat naik lagi ke 0,34% ke 96,241, yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020. Namun di akhir perdagangan Rabu, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini mengalami koreksi 0,14%.
Meski sedang membuat, rupiah kemungkinan belum akan bergerak banyak pada hari ini. Sebab, pelaku pasar menanti hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI.
Polling dari Reuters menunjukkan BI diperkirakan akan menahan suku bunga hingga akhir tahun depan, dan tetap memperhatikan arah kebijakan moneter The Fed.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%.
James Sweeney, kepala ekonom di Credit Suisse mengatakan BI akan kenaikan suku bunga di tahun depan guna mencegah terjadinya capital outflow dan menjaga stabilitas rupiah.
“Saat The Fed mulai mengurangi kebijakan moneter akomodatifnya dan memulai tapering di kuartal IV-2021, kami melihat Bank Indonesia akan menjaga nilai tukar rupiah dari kemungkinan terjadinya capital outflow dengan menaikkan suku bunga di tahun depan,” kata Sweeney, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (16/11).
Tidak sekedar kenaikan suku bunga di tahun depan, tetapi pasar juga akan melihat apakah BI akan ahead the curve atau behind the curve.
Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral AS (The Fed). Saat itu Perry sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.
Saat ini pasar melihat The Fed diprediksi menaikkan suku bunga sebanyak 2 hingga 3 kali dan dimulai Juli 2022, berdasarkan data dari FedWatch milik CME Group.
Tidak hanya pasar, para anggota pembuat kebijakan The Fed juga melihat suku bunga bisa naik 2 kali di tahun depan. Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
Dalam dot plot yang terbaru edisi September, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Jika itu terjadi, maka ada kemungkinan BI kali ini behind the curve. Sebab, jika BI juga agresif dalam menaikkan suku bunga, maka stimulus moneter untuk memacu pertumbuhan ekonomi akan berkurang.
Namun, tidak menutup kemungkinan BI juga akan agresif, seandaianya terjadi capital outflow yang besar, dan nilai tukar rupiah merosot.
Sumber CNBC Indonesia