Nilai tukar rupiah memperbesar penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (13/12). Bahkan di pasar non-deliverable forward (NDF) ada sinyal rupiah akan menembus Rp 14.300/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,21% ke Rp 14.340/US$. Setelahnya apresiasi rupiah sempat terpangkas hingga tersisa 0,07% saja, sebelum kembali terakselerasi dan berada di Rp 14.330/US$, menguat 0,28% di pasar spot, pada pukul 12:03 WIB.
Peluang berlanjutnya rupiah terlihat dari pergerakannya di pasar NDF yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi. Bahkan, kurs NDF rupiah untuk sepekan ke depan sudah nyaris menembus Rp 14.300/US$.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Penguatan rupiah pada hari ini tidak lepas dari dolar AS yang berbalik arah sejak Jumat pekan lalu. Padahal, data inflasi di Amerika Serikat melesat nyaris ke level tertinggi dalam 4 dekade terakhir. Tingginya inflasi tersebut tentunya membuat bank sentral AS (The Fed) semakin yakin untuk mempercepat normalisasi kebijakan moneter.
Hal tersebut seharusnya membuat dolar AS menguat, tetapi nyatanya malah melemah sejak Jumat lalu.
Indeks dolar AS melemah 0,18% di hari Jumat, dan dalam sepekan turun tipis 0,02%.
“Melihat data inflasi, banyak yang khawatir akan lebih tinggi lagi. Melihat bagaimana dolar AS bergerak, ada kelegaan inflasi tidak setinggi yang dibayangkan,” kata Mazen Issa, ahli strategi mata uang senior di TD Securities sebagaimana dilansir Reuters, Jumat 10/12).
Issa juga mengatakan pasar saat ini sudah price in atau menakar kenaikan suku bunga The Fed yang membuat dolar AS malah mengalami koreksi. Sebab infasi tidak setinggi perkiraan dan The Fed kemungkinan tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga.
Sumber CNBC Indonesia