Rupiah dalam 2 hari terakhir gagal mencatat penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi tanda-tanda akan kembali ke jalur hijau sudah terlihat pada perdagangan Jumat (10/9/2021).
Data dari dalam negeri dalam 2 hari terakhir membuat rupiah sulit menguat, tetapi indeks dolar AS kemarin kembali melemah, sehingga rupiah memiliki kesempatan kembali menguat dalam kesempitan.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.250/US$. Mata Uang Garuda kemudian sukses masuk ke zona hijau, mencatat penguatan 0,1% ke Rp 14.235/US$ pada pukul 9:07 WIB.
Dalam 2 hari terakhir, rupiah tidak pernah mencicipi zona hijau meski sesaat. Sejak awal perdagangan, selalu langsung melemah. Di saat yang sama, kabar kurang bagus datang dari dalam negeri yang membuat rupiah sulit ke zona hijau, apalagi melihat posisinya saat ini yang berada di dekat level terkuat dalam 10 pekan terakhir.
Data yang dirilis Rabu lalu menunjukkan masyarakat Indonesia semakin tidak percaya diri dalam menatap perekonomian. Hal in tercermin dari Survei Konsumen yang digelar Bank Indonesia (BI). Pada periode Agustus 2021, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di 77,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 80,2.
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.
Ketika masyarakat tidak pede, maka tingkat konsumsi cenderung menurun, yang tentunya berisiko menekan pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan kemarin, BI melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Juli 2021 berada di 188,5. Turun 5% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) dan -2.9% dari Juli 2020 (year-on-year/yoy).
Untuk Agustus 2021, BI memperkirakan IPR Berada di 196,5. Tumbuh 4,3% mtm tetapi masih terkontraksi 0,1% yoy. Dibandingkan Juli 2021 ada perbaikan baik secara mtm maupun yoy.
Sementara itu indeks dolar AS yang sebelumnya menguat 2 hari beruntun akhirnya kembali melemah kemarin. Sebabnya, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang lebih dulu melakukan tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) ketimbang bank sentral AS (The Fed).
Inflasi yang tinggi di zona euro membuat ECB mengurangi nilai pembelian asetnya atau yang dikenal dengan Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP), meski tidak menyebutkan berapa nilainya.
“Berdasarkan penilaian bersama terkait kondisi finansial dan outlook inflasi, Dewan Gubernur memutuskan untuk melanjutkan program PEPP dengan menurunkan nilainya secara moderat dibandingkan dua kuartal sebelumnya,” tulis pernyataan ECB sebagaimana dikutip CNBC International, Kamis (9/9/2021).
Dalam dua kuartal sebelumnya, nilai pembelian aset ECB sebesar 80 miliar euro per bulan, selanjutnya para analis memprediksi nilainya akan turun menjadi 70 miliar euro hingga 60 miliar euro.
Tapering yang dilakukan ECB tersebut membuat euro menguat, dan indeks dolar AS berbalik melemah. Alhasil, rupiah punya kesempatan menguat hari ini.
Sumber CNBC Indonesia