Aksi ambil untung (profit taking) membuat rupiah mengakhiri perdagangan Selasa di Rp 14.210/US$ atau menguat hanya 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS). Padahal sebelumnya rupiah sudah menyentuh Rp 14.170/US$, yang merupakan level tertinggi sejak 10 Mei lalu.
Kabar baik yang datang bertubi-tubi dari dalam negeri membuat rupiah mampu mencapai level tersebut. Rupiah pun “berpesta”, dalam 7 hari perdagangan terakhir mampu membukukan penguatan sebanyak 6 kali.
Senin malam lalu, pemerintah kembali melonggarkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sementara kemarin Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa di bulan Agustus naik US$ 7,5 miliar ke US$ 144,8 miliar yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa, jauh melampaui rekor sebelunnya US$ 138,8 miliar yang dicapai pada bulan April lalu.
Peningkatan cadangan devisa artinya BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah ketika terjadi gejolak.
Namun, pada perdagangan hari ini, Rabu (8/9/2021), “pesta” rupiah berisiko terhenti dan berbalik arah. Sebab sentimen pelaku pasar sedang memburuk, terlihat dari bursa saham AS (Wall Street) dan bursa Eropa yang terpuruk pada perdagangan Selasa waktu setempat.
Saat sentimen pelaku pasar memburuk, dolar AS akan menjadi favorit. Indeks dolar AS langsung melesat 0,52% ke 92,512. Rupiah pun layak waspada.
Secara teknikal, rupiah masih berakhir di atas Rp 14.200/US$ kemarin. Artinya belum ada perubahan level-level yang harus diperhatikan. Target penguatan rupiah masih di Rp 14.150/US$ jika level tersebut kembali ditembus.
Potensi penguatan rupiah yang disimbolkan USD/IDR sudah terlihat setelah mampu bertahan di bawah rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA 50), MA 100, dan MA 200. Artinya, rupiah bergerak di bawah 3 MA yang memberikan momentum penguatan.
Selain itu, rupiah juga sudah menembus ke bawah bullish trend line (garis warna merah) yang menguntungkan dolar AS.
Meski demikian, patut diperhatikan Indikator stochastic yang mulai masuk ke wilayah jenuh jual (oversold)
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Artinya, ketika belum mencapai wilayah oversold, rupiah yang disimbolkan USD/IDR artinya ada risiko berbalik arah alias rupiah melemah. Apalagi, kini muncul pola Hammer, yang menjadi sinyal pembalikan arah.
Pola Hammer tersebut akan menjadi mimpi buruk bagi rupiah, jika pada perdagangan hari ini mengalami pelemahan. Pola Hammer baru terkonfirmasi sebagai pola pembalikan arah ketika candlestick selanjutnya penutupannya lebih tinggi ketimbang penutupan Hammer.
Resisten terdekat berada di kisaran Rp 14.250/US$, jika ditembus rupiah berisiko terkoreksi ke MA 200 di kisaran Rp 14.280/US$ hingga Rp 14.290/US$.
Sumber CNBC Indonesia