Rupiah sukses menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Kamis (14/10), hingga menyentuh level terkuat dalam 6 bulan terakhir. Padahal kemarin inflasi AS dilaporkan kembali naik dan berada di level tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Kenaikan inflasi tersebut memperkuat ekspektasi tapering maupun kenaikan suku bunga di AS, tetapi dolar AS nyatanya malah terpuruk.
Indeks dolar AS justru jeblok 0,46% pada perdagangan kemarin, dan berlanjut lagi 0,07% ke 94,018 pagi ini. Alhasil, rupiah melesat 0,25% ke Rp 14.180/US$ di pembukaan perdagangan, melansir data Refinitiv.
Penguatan rupiah sempat terpangkas ke Rp 14.190/US$, tetapi setelahnya kembali menguat 0,46% ke Rp 14.150/U$ pada pukul 10:20 WIB. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 10 Mei lalu.
Pemerintah AS kemarin melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) di bulan September dilaporkan tumbuh 0,4% dari bulan sebelumnya, lebih tinggi dari hasil polling Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%. Sementara itu dibandingkan September 2020, inflasi melesat 5,4%, lebih tinggi dari pertumbuhan bulan Agustus 5,3% year-on-year (YoY).
Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir.
Sementara itu inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi, tumbuh 0,2% month-on-month (MoM), dan 4% YoY.
Inflasi merupakan salah satu acuan utama bank sentral AS (The Fed) dalam menerapkan kebijakan moneter, untuk saat ini adalah kapan waktunya tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dan kenikan suku bunga.
The Fed sebenarnya lebih melihat inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang akan dirilis akhir bulan ini. Tetapi, CPI yang masih menanjak bisa memberikan gambaran jika PCE juga masih akan naik lagi.
Apalagi, inflasi berdasarkan PCE saat ini sudah berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
Tingginya inflasi di AS kini dikatakan akan bertahan dalam waktu yang cukup lama, tidak lagi sementara seperti kata The Fed. Sehingga pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan September tahun depan, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya bulan Desember 2022.
“Pasar kini melihat inflasi tinggi akan bertahan lebih lama bukan sementara, dan ini kemungkinan akan memaksa The Fed manaikkan suku bunga lebih cepat seperti yang diperkirakan pelaku pasar. Sebelumnya, pasar melihat suku bunga akan dinaikkan pada Desember 2022, tetapi kini maju di September tahun depan,” kata Edward Moya, analis pasar di Oanda, sebagaimana dilansir CNBC International.
Kenaikan suku bunga yang lebih cepat seharusnya membuat dolar AS perkasa, tetapi kini malah jeblok. Sebabnya, The Fed terpaksa menaikkan suku bunga guna meredam kenaikan inflasi, sementara perekonomian Paman Sam kemungkinan belum akan mencapai pasar tenaga kerja maksimum, apalagi setelah rilis data tenaga kerja yang mengecewakan pada pekan lalu.
Alhasil, ada risiko perekonomian AS akan melambat akibat kenaikan suku bunga lebih cepat, dolar AS pun terpuruk.
Sumber CNBC Indonesia