Nilai tukar rupiah akhirnya sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di bulan April setelah membukukan pelemahan 2 bulan beruntun. Peluang rupiah melanjutkan penguatan di bulan Mei juga terbuka cukup lebar, tetapi kasus kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) bisa membuat rupiah berbalik arah.
Melansir data Refinitiv, rupiah menguat 0,55% ke Rp 14.440/US$ sepanjang bulan April, sementara dalam 2 bulan sebelumnya total pelemahan sebesar 3,57%.
Indeks dolar AS yang merosot 2% lebih di bulan April menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah. Dolar AS terus merosot setelah, bank sentral AS (The Fed) yang dengan tegas mengatakan belum akan merubah kebijakan moneternya meski perekonomian AS tumbuh lebih tinggi dari prediksi.
Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0,25% serta program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Suku bunga The Fed baru akan dinaikkan setidaknya di tahun 2023.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat di tahun ini dikatakan karena program vaksinasi serta dukungan kebijakan moneter dan fiskal.
“Di tengah kemajuan program vaksinasi serta dukungan kebijakan yang kuat, indikator perekonomian serta tenaga kerja telah menunjukkan penguatan,” tulis komite pembuat kebijakan The Fed (FOMC).
Meski demikian, tingginya pertumbuhan ekonomi dinilai hanya sementara, dan masih belum merata sehingga kebijakan moneter ultra longgar masih diperlukan.
“Pemulihan ekonomi masih belum merata dan masih jauh dari kata selesai. Inflasi dalam beberapa bulan ke depan akan tinggi, tetapi kenaikan tersebut cenderung memiliki efek sementara” kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers sebagaimana dikutip CNBC International, Kamis (29/4/2021).
Powell sekali lagi menegaskan saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan pengetatan moneter, termasuk pengurangan nilai QE.
Sementara itu dari dalam negeri, aliran modal mulai masuk lagi ke dalam negeri di pasar obligasi. Di pasar sekunder, melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini hingga 28 April terjadi capital inflow di pasar obligasi nyaris Rp 10 triliun.
Hal tersebut tentunya menjadi kabar bagus, setelah terjadi capital outflow Rp 20 triliun sepanjang bulan Maret.
Dari pasar primer, hasil lelang Surat Utang (SUN) pemerintah Selasa lalu mulai ramai peminat. Incoming bid mencapai Rp 52,75 triliun, sedangkan pada lelang SUN sebelumnya sebesar Rp 42,97 triliun.
Pemerintah menetapkan target indikatif sebesar Rp 30 triliun dan yang dimenangkan sebesar Rp 28 triliun lebih baik dari lelang sebelumnya Rp 24 triliun.
Hal tersebut terjadi setelah yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat (AS) yang mulai turun dari level tertinggi sejak Januari 2020. Penurunan tersebut membuat selisih yield dengan SUN kembali melebar, sehingga aliran modal perlahan kembali ke Indonesia.
Kombinasi capital inflow jika berlanjut di bulan ini dan merosotnya indeks dolar AS bisa menjadi modal besar bagi rupiah untuk menguat di bulan Mei, apalagi dengan tanda-tanda Indonesia bisa lepas dari resesi di kuartal II-2021 sudah mulai terlihat.
IHS Markit pagi ini melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang tercermin dari purchasing managers’ index (PMI) bulan April melesat menjadi 54,6 yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah, melewati rekor sebelumnya 53,2 yang dicapai pada bulan Maret. Itu artinya sektor manufaktur mencatat rekor dalam 2 bulan beruntun, menjadi kabar baik bagi perekonomian Indonesia.
Tetapi, skenario penguatan rupiah bisa buyar akibat Covid-19 yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
India kini menjadi hotspot baru penyebaran Covid-19, dan menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak kedua di dunia. Mengutip Worldometers, India mencatat 402.110 kasus baru per Sabtu (1/5/2021). Ini merupakan rekor paling baru, dari rentetan rekor kasus lain di sepekan lebih ini.
Lonjakan kasus di India terjadi setelah dilakukan festival agama serta kampanye politik yang menimbulkan kerumunan. Indonesia kini mulai was-was, sebab di akhir pekan lalu terjadi kerumunan di pasar Tanah Abang.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr. Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan kerumunan seperti itu dapat memicu kasus besar seperti yang terjadi di India saat ini.
“Sebenarnya kondisi di Indonesia ini menyeramkan. Jadi jangan dianggap laporan jumlah kasusnya turun, berarti memang sudah berkurang yang terpapar. Tidak seperti ini. Di kerumunan manapun, risiko paparan Covid-19 sudah pasti akan meningkat,” kata Tri dalam panggilan telepon dengan CNBC Indonesia pada Minggu sore.
Sumber CNBC Indonesia