Skip to content

Bertahan di Bawah Rp 14.500/US$, Rupiah Siap Stop Rekor Buruk

  • by

Rupiah mampu bertahan di bawah Rp 14.500/US$ hingga pertengahan perdagangan Senin (5/7/2021). Peluang Mata Uang Garuda menghentikan rekor buruk tidak pernah menguat dalam 5 hari perdagangan terbuka semakin lebar, bahkan tidak menutup kemungkinan mempertebal penguatan.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,38% di Rp 14.475/US$, setelahnya bertambah kuat menjadi 0,45%. Penguatan rupiah sempat terpangkas hingga tersisa 0,28% ke Rp 14.490/US$.

Penguatan rupiah bertambah lagi menjadi 0,31% ke Rp 14.485/US$ pada pukul 12:00 WIB.

Rupiah berpeluang mempertebal penguatan pada perdagangan hari ini melihat pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.

Rupiah mampu menguat pada perdagangan hari ini setelah dolar AS berbalik tertekan pasca rilis data tenaga kerja Jumat pekan lalu. Data tersebut merupakan salah satu indikator bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter baik itu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dan kenaikan suku bunga.

Indeks dolar AS yang sebelumnya menguat 7 hari beruntun berbalik merosot 0,4% di hari Jumat.

Pada Jumat lalu, Badan Statistik Tenaga kerja AS melaporkan sepanjang bulan Juni terjadi penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP) sebanyak 850.000 orang, lebih banyak dari prediksi Reuters sebanyak 700.000 orang. Meski jumlah perekrutan lebih banyak dari perkiraan, tetapi tingkat pengangguran justru naik menjadi 5,9% dari sebelumnya 5,8%.

Selain itu, pertumbuhan rata-rata upah per jam hanya 0,3%, lebih rendah dari konsensus 0,4%. Tetapi tidak lama malah balik merosot.

“Awalnya kita bereaksi positif terhadap data NFP yang lebih kuat dari perkiraan. Tetapi dolar AS kemudian berbalik melemah melihat detail laporan tersebut, khususnya tingkat pengangguran yang naik,” kata Vassilu Serebriakov, ahli strategi mata uang di UBS New York, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (2/7/2021).

Kenaikan upah yang lebih rendah dari perkiraan juga memberikan tekanan. Sebab upah terkait dengan daya beli masyarakat, yang kemudian berdampak pada inflasi.

Sumber CNBC Indonesia

You cannot copy content of this page