Pergerakan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (24/9) “copy paste” kemarin. Menguat di pembukaan perdagangan, kemudian berbalik melemah dengan rentang pergerakan yang tidak lebar. Kemarin rupiah berakhir stagnan di Rp 14.240/US$, lantas hari ini apakah akan sama juga?
Jika melihat pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) rupiah sebenarnya berpeluang menguat di sisa perdagangan hari ini. Sebab, posisinya siang ini sedikit lebih kuat ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Di pembukaan perdagangan hari ini, rupiah menguat 0,14% ke Rp 14.220/US$, setelahnya berbalik melemah 0,07% ke Rp 14.250/US$, melansir data Refinitiv. Pada pukul 12:00 WIB, rupiah berada di Rp 14.245/US$, sehingga peluang menguat terbuka lebar.
Pergerakan rupiah sejak Kamis kemarin bisa dikatakan galau. Sebab, pelaku pasar masih mencerna pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) Kamis dini hari kemarin. Dalam pengumuman tersebut, tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang akan dilakukan The Fed masih “ketaker” alias sesuai ekspektasi pasar.
The Fed belum menyatakan kapan tapering akan dilakukan. Sementara pelaku pasar memperkirakan pengumuman tapering akan dilakukan pada bulan November dan eksekusinya di Desember. Sejauh ini, ekspektasi tapering masih sama, tetapi yang sedikit mengejutkan adalah dot plot atau proyeksi suku bunga The Fed.
Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Artinya, terjadi perubahan proyeksi suku bunga yang signifikan. Kenaikan suku bunga yang lebih cepat dari sebelumnya lebih berisiko memicu capital outflow dari Indonesia, dan negara emerging market lainnya, sehingga menimbulkan gejolak di pasar finansial global. Apalagi, jika The Fed nantinya agresif dalam menaikkan suku bunga.
Sumber CNBC Indonesia