Rupiah melemah cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Kamis (25/11), dan nyaris mencapai Rp 14.300/US$. Serangkaian data ekonomi AS yang dirilis Rabu kemarin menguatkan spekulasi dipercepatnya tapering serta kenaikan suku bunga yang membuat mata uang Paman Sam perkasa.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.285/US$. Tetapi tidak lama langsung melemah hingga 0,21% ke Rp 14.285/US$. Pelemahan tersebut cukup signifikan mengingat masih awal perdagangan.
Pada perdagangan Rabu kemarin, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut melesat 0,37% ke 96,844 yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020.
Selain ada ekonomi yang bagus, inflasi di AS yang tinggi semakin menguatkan spekulasi pengetatan moneter yang lebih cepat.
Departemen Perdagangan AS kemarin malam melaporkan inflasi yang dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) melesat 5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober. Rilis tersebut menjadi yang tertinggi sejak November 1990.
Sementara inflasi inti PCE yang tidak memasukkan item energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 4,1% YoY, lebih tinggi dari bulan September 3,6% YoY, dan sesuai dengan prediksi Reuters. Inflasi yang menjadi acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter ini berada di level tertinggi sejak Januari 1991.
Selain ada ekonomi yang bagus, inflasi di AS yang tinggi semakin menguatkan spekulasi pengetatan moneter yang lebih cepat.
Departemen Perdagangan AS kemarin malam melaporkan inflasi yang dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) melesat 5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober. Rilis tersebut menjadi yang tertinggi sejak November 1990.
Sementara inflasi inti PCE yang tidak memasukkan item energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 4,1% YoY, lebih tinggi dari bulan September 3,6% YoY, dan sesuai dengan prediksi Reuters. Inflasi yang menjadi acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter ini berada di level tertinggi sejak Januari 1991.
Sumber CNBC Indonesia