Setelah 2 hari bersusah payah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah akhirnya langsung melesat di awal perdagangan Kamis (16/9). Tanda-tanda pelambatan ekonomi AS yang kian nyata membuat rupiah langsung menembus ke bawah Rp 14.200/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah melesat 0,42% ke Rp 14.180/US$ begitu bel perdagangan berbunyi. Sayangnya, level tersebut menjadi yang terkuat pagi ini, rupiah kemudian memangkas pelemahan hingga tersisa 0,18% di Rp 14.215/US$ pada pukul 9:13 WIB.
Tanda pelambatan ekonomi AS semakin terlihat pasca rilis data inflasi, yang bisa menjadi tolak ukur daya beli masyarakat.
Kementerian Ketenagakerjaan AS Selasa lalu melaporkan inflasi inti pada Agustus 2021 adalah 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Melambat dibandingkan Juli 2021 yang sebesar 0,3% dan menjadi yang terendah dalam enam bulan terakhir. Selain itu, inflasi inti tersebut lebih rendah dari hasil survei Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%.
Dibandingkan dengan Agustus 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi inti adalah 4%. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,3% dan menjadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir, dan lebih rendah dari ekspektasi 4,2%.
“Kenyataannya tidak ada panduan selain dengan indikator ekonomi yang buruk, yang berarti pemulihan dari pandemi melambat lebih dalam ketimbang ekspektasi akibat corona delta,” kata Juan Perez, ahli strategi mata uang di Tempus Inc, di Washington, sebagaimana dilansir CNBC International.
Selain menunjukkan pelambatan ekonomi, pelambatan inflasi juga membuat bank sentral AS (The Fed) tidak perlu buru-buru melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).
Alhasil, indeks dolar AS kemarin sempat menguat, tetapi di akhir perdagangan justru melemah 0,08%, dan pagi ini berlanjut 0,1%. Rupiah pun mampu melenggang ke zona hijau pagi ini.
Pelaku pasar kini menanti The Fed yang akan mengadakan rapat kebijakan moneter di bulan ini, pengumuman hasilnya akan dilakukan pada Kamis (23/9) dini hari waktu Indonesia.
Dengan rilis data inflasi yang melambat, dan data tenaga kerja yang mengecewakan membuat rapat The Fed kali ini disebutkan antiklimaks.
Tetapi, bukan berarti tidak akan penting, kejutan bisa saja terjadi. Selain itu, Suki Cooper, analis dari Standard Chartered Bank melihat tapering baru akan diumumkan pada bulan November, tetapi rapat kebijakan moneter The Fed bulan ini akan berisi dot plot, yakni proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Sehingga tetap akan menjadi perhatian besar bagi pelaku pasar.
“Meski pengumuman tapering tidak akan dilakukan hingga bulan November, rapat kebijakan The Fed bulan ini akan memberikan proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Dan proyeksinya akan sama dengan tahun 2023, yakni dua kali kenaikan suku bunga,” kata Cooper.
Artinya, jika proyeksi Cooper tepat, maka The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali di tahun 2023, dan dua kali juga di 2024. Kenaikan tersebut terbilang tidak agresif, sehingga akan menguntungkan bagi rupiah.
Sumber CNBC Indonesia