Skip to content

IHSG ke Bawah 6.000, Rupiah Rp 14.500/US$, Ini Penyebabnya

  • by

Pasar finansial dalam negeri mengalami tekanan yang cukup besar pada perdagangan Rabu (31/3/2021) akibat memburuknya sentimen pelaku pasar sejak Selasa kemarin.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat hingga 1,32% ke 5.991,484, sementara nilai tukar rupiah melemah 0,21% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.500/US$.

Memburuknya sentimen pelaku pasar terjadi akibat Archegos Capital, perusahaan aset manajemen, yang terkena margin call. Archegos tidak mampu menyediakan tambahan jaminan saat broker memintanya.

Ada kekhawatiran situasi di Archegos bakal berdampak sistemik. Nomura dan Credit Suisse disebut-sebut sebagai kreditur Archegos dalam perdagangan di pasar derivatif, sehingga dua bank kelas ‘paus’ itu tentu akan kena getahnya.

Alhasil, pelaku pasar melepas aset-aset berisko dan memilih aset aman seperti dolar AS. Bursa saham AS (Wall Street) melemah pada perdagangan Selasa waktu setempat, yang menyeret turun bursa Asia pagi ini, sementara dolar AS terus menanjak.

“Dolar AS menguat karena peningkatan permintaan terhadap aset aman. Investor takut dan mencoba menghindar dari efek domino Archegos,” ujar Karl Schamotta, Chief Market Strategist di Cambridge Global Payments yang berbasis di Toronto (Kanada), seperti diwartakan Reuters.

Selain itu, tekanan juga datang dari naiknya yield obligasi pemerintah AS. Sejak awal pekan lalu hingga pagi ini, yield US Treasury Bonds tenor 10 tahun naik 7,67 basis poin.

Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan, serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melepas Treasury yang membuat yield-nya naik.

Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 29 Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 26 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 3%.

Menurut ekonom senior Chatib Basri, kondisi sekarang dinamakan tantrum without tapering alias pembalikan atau gejolak sudah terjadi padahal The Fed tidak menaikkan suku bunga acuan. Hal ini bisa terhenti atau tidak sangat bergantung pada kekuatan The Fed menjaga pergerakan pasar.

The Fed, kata Chatib mungkin akan mengambil langkah dengan intervensi pada yield Treasury. Caranya Bank Sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar. Tujuannya agar yield tidak terlalu tinggi.

“Kalau dilakukan maka ekspektasi inflasi bisa dikendalikan, itu berarti The Fed harus beli bond jangka panjang, harus stabilisasi,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/3/2021).

Sumber CNBC Indonesia

You cannot copy content of this page