Rupiah dihantam luar dan dalam pada hari Jumat (18/6/2021). Hingga pertengahan perdagangan, rupiah berada di level terlemah sejak awal Mei melawan dolar Amerika Serikat (AS), dan nyaris mencapai Rp 14.400/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,7% ke Rp 14.360/US$. Tetapi kurang dari 15 menit setelahnya, Mata Uang Garuda sudah berada di Rp 14.390/US$.
Sempat memangkas pelemahan, tetapi tekanan yang terlalu besar membuat rupiah kembali melemah 0,31% ke Rp 14.395/US$.
Meski demikian, rupiah punya peluang bangkit di sisa perdagangan hari ini. Hal tersebut terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Tekanan dari eksternal masih belum mereda. Maklum saja, bank sentral AS (The Fed) mengindikasikan akan menaikkan suku bunga di tahun 2023, lebih cepat dari proyeksi sebelumnya tahun 2024. Apalagi, beberapa anggota The Fed melihat adanya kemungkinan suku bunga akan dinaikkan pada tahun depan.
Dengan proyeksi suku bunga naik lebih cepat, banyak pelaku pasar melihat The Fed kemungkinan akan melakukan tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (QE) di semester II tahun in.
Ketika tapering dilakukan dan suku bunga di AS naik, maka selisih imbal hasil dengan Indonesia akan semakin menyempit, dan berisiko memicu aliran modal ke luar dari Indonesia menuju Amerika Serikat (AS).
Meski demikian, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam konferensi pers kebijakan moneter kemarin menyatakan The Fed kemungkinan akan melakukan tapering di kuartal I-2021.
“Kami melihat tapering The Fed tidak terjadi tahun ini. Akan terus kami pantau kalau ada indikator-indikator baru jika ada perubahan, tetapi kemungkinan tapering akan dilakukan tahun depan,” kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juni 2021, Kamis (17/6/2021).
Perry juga mengatakan BI akan terus bersiap agar Indonesia mampu menghadapi gejolak akibat tapering. Caranya adalah melakukan stabilisasi di pasar agar nilai tukar rupiah tetap terjaga.
“Kami akan optimalkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dan berkoordinasi dengan pemerintah agar pengaruh ke yield SBN (Surat Berharga Negara) dalam batas-batas yang normal. Ini sudah kita lakukan sejak awal pandemi Covid-19 dan saat ada kenaikan yield US Treasury Bonds pernah mencapai 1,9%. Ini langkah-langkah yang terus kami lakukan. Dengan langkah-langkah itu, kami masih akan mengarahkan kebijakan moneter dan likuiditas, makroprudensial mendukung pemulihan ekonomi nasional,” jelas Perry.
Namun, tekanan lain bagi rupiah datang dari dalam negeri, yakni lonjakan kasus Covid-19.
Satgas Penanganan Covid-19 mencatat per Kamis (17/6/2021) kasus harian Covid-19 di Indonesia menembus 12.624 kasus, menjadi kenaikan tertinggi sejak 30 Januari lalu.
Lonjakan kasus dalam beberapa pekan terakhir tentunya membuat pelaku pasar cemas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat bisa kembali diterapkan.
Jika PPKM diketatkan, maka pemulihan ekonomi terancam tersendat lagi.
Sumber CNBC Indogo