Nilai tukar rupiah jeblok melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan Senin (17/5/2021), setelah libur selama 3 hari pada pekan lalu dalam rangka Idul Fitri. Saat rupiah sedang libur pekan lalu dolar AS sempat mengamuk, alhasil rupiah nyaris ke Rp 14.300/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,04% ke Rp 14.200/US$. Rupiah kemudian jeblok hingga 0,6% ke Rp 14.280/US$, sebelum berada di Rp 14.275/US$ atau melemah 0,75% pada pukul 12.00 WIB.
Di sisa perdagangan hari ini, rupiah kemungkinan masih akan tertekan dan menyentuh Rp 14.300/US$. Hal tersebut terindikasi dari dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi. Hanya NDF periode 1 pekan yang menguat, sisanya melemah.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot. Padahal NDF sebelumnya murni dimainkan oleh investor asing, yang mungkin kurang mendalami kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
Pada pekan lalu dolar AS sempat mengamuk setelah rilis data inflasi. Departemen Tenaga Kerja AS Rabu lalu melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.
Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.
Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.
Sementara itu dari dalam negeri pelaku pasar kini malah dibuat cemas akan virus corona. Sebab, meski sudah dilarang, masih banyak warga yang mudik Lebaran, begitu juga tempat-tempat wisata yang penuh. Hal tersebut tentunya berisiko meningkatkan kasus Covid-19.
Apalagi, negara-negara di ASEAN sudah mengalami kenaikan kasus, bahkan menerapkan kembali lockdown.
Sumber CNBC Indonesia