Nilai tukar rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Kamis (6/5/2021). Penguatan hari ini, jika bisa dipertahankan akan menjadi yang terbesar dalam 5 bulan terakhir.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,21% ke Rp 14.400/US$. Setelahnya sempat terpangkas ke Rp 14.420/US$, sebelum melesat 0,66% di Rp 14.335/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Persentase tersebut merupakan penguatan terbesar sejak 4 Januari lalu, saat itu rupiah mampu menguat 1,1%.
Peluang rupiah mempertahankan penguatan bahkan bertambah tebal terbuka lebar di sisa perdagangan hari ini. Hal tersebut terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot. Padahal NDF sebelumnya murni dimainkan oleh investor asing, yang mungkin kurang mendalami kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
Data tenaga kerja AS versi Automatic Data Processing Inc. (ADP) yang dirilis kemarin malam membuat dolar AS tertekan. ADP melaporkan sepanjang bulan April perekonomian AS mampu menyerap 742.000 tenaga kerja, memang lebih banyak ketimbang bulan sebelumnya 565.000 tenaga kerja, tetapi cukup jauh di bawah estimasi pasar 872.000 tenaga kerja.
Data tersebut bisa memberikan gambaran pasar tenaga kerja AS tidak sekuat perkiraan pelaku pasar, dan menjadi acuan data tenaga kerja versi pemerintah yang akan dirilis Jumat besok.
Pasar tenaga kerja yang tidak sekuat perkiraan tentunya memperkuat pernyataan bank sentral AS (The Fed) jika kondisi pasar tenaga kerja saat ini masih belum cukup untuk bank sentral memulai perundingan pengetatan moneter.
Artinya kebijakan The Fed masih akan ultra longgar, dan dolar AS pun tertekan.
Selain itu, hasil survei terbaru Reuters menunjukkan dalam 3 bulan ke depan dolar AS akan melemah.
“Sepertinya kita masih akan menjalani tren pelemahan dolar AS, dan itu akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Sekarang pertanyaannya, apakah mata uang lain bisa memanfaatkan itu?” tegas Kit Juckes, Head of FX Strategist di Societe Generale, seperti dikutip dari Reuters.
Nah, para responden memperkirakan mata uang yang bisa memanfaatkan tren pelemahan dolar AS adalah mata uang yang bersifat commodity currency. Artinya, mata uang suatu negara yang mengandalkan komoditas sebagai barang dagangan utama.
Rupiah adalah salah satu mata uang itu. Ekspor Indonesia didominasi oleh komoditas, utamanya minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara. Ketika harga dua komoditas itu naik, maka Indonesia akan menikmati pasokan valas yang melimpah sehingga peluang penguatan rupiah jadi lebih besar.
Sumber CNBC Indonesia