Nilai tukar rupiah terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Selasa (9/3/2021), nyaris menyentuh Rp 14.500/US$. Meski demikian, rupiah menunjukkan tanda-tanda bangkit dan tidak menutup kemungkinan bisa membalikkan keadaan di akhir perdagangan nanti.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah dibuka melemah 0,21% ke Rp 14.380/US$. Setelahnya rupiah langsung jeblok 0,84% ke Rp 14.470/US$ yang merupakan level terlemah sejak 4 November 2020.
Rupiah berhasil memangkas pelemahan, dan berada di level Rp 14.400/US$, melemah 0,35% hingga pukul 12:00 WIB.
Peluang rupiah berbalik menguat terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Stimulus fiskal di AS senilai US$ 1,9 triliun yang akan cair di pekan ini bukannya membuat dolar AS melemah, malah semakin perkasa. Hal tersebut terlihat dari indeks dolar AS yang terus menanjak. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut kemarin menguat 0,37% ke 92,313, level tertinggi sejak November 2020 lalu.
Saat stimulus fiskal cair, jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, secara teori dolar AS akan melemah. Tetapi kali ini beda ceritanya, sebab stimulus tersebut berisiko membuat inflasi melesat.
Pasar mengantisipasi tersebut dengan melepas kepemilikan obligasi (Treasury) AS, alhasil yield-nya terus menanjak.
Kemarin, yield Treasury AS tenor 10 tahun naik 4 basis poin ke 1,594%, masih berada di level tertinggi dalam satu tahun terakhir, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Kenaikan yield Treasury yang dipicu prospek pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi membuat pasar keuangan global kembali dihantui oleh tapering (pengurangan program pembelian aset atau quantitative easing) The Fed yang dapat memicu taper tantrum.
“Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul,” kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021).
Taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013-2015, saat itu indeks dolar AS melesat tajam, dan rupiah menjadi salah satu korbannya saat itu. Bayang-bayang taper tantrum tersebut menjadi penekan utama rupiah.