Rupiah sudah 8 hari tidak pernah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS), dan masih belum mampu bangkit di awal perdagangan Kamis (2/12). Virus corona varian Omicron yang sudah masuk ke Amerika Serikat justru membuat dolar AS banyak diburu.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.340/US$. Kurang dari 10 menit berselang, rupiah sudah melemah 0,21% ke Rp 14.370/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam satu bulan terakhir.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengumumkan menemukan kasus Omicron pertama di Amerika Serikat.
Omicron kini dikhawatirkan akan cepat menyebar, apalagi di Afrika Selatan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) kini didominasi varian Omicron, hanya 4 pekan setelah kasus pertama ditemukan.
Selain itu, Omicron juga dikhawatirkan akan menyebar di negara-negara lainnya sehingga memicu pelambatan ekonomi global. Alhasil, permintaan dolar sebagai safe haven meningkat.
Di sisi lain, rupiah yang merupakan aset emerging market menjadi tidak diuntungkan. Apalagi, kemarin ekspansi sektor manufaktur Indonesia dilaporkan melambat.
IHS Markit mengumumkan aktivitas manufaktur Indonesia yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) bulan November sebesar 53,9, turun jauh dari bulan sebelumnya 57,2 yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan PMI di Indonesia.
Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai titik start. Kalau di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang berada dalam fase ekspansi.
Artinya, sektor manufaktur Indonesia masih berekspansi, tetapi mengalami pelambatan.
“Sektor manufaktur Indonesia terus pulih dari dampak pandemi Covid-19, sektor ini membukukan ekspansi selama tiga bulan beruntun. Meski permintaan dan produksi melambat dibandingkan Oktober, tetapi tetap tumbuh kuat,” sebut keterangan tertulis IHS Markit.
Jingyi Pan, Economic Associates Director IHS Markit, menambahkan bahwa secara umum sektor manufaktur Indonesia masih tumbuh tinggi seiring pemulihan dari serangan virus corona varian delta pada tengah tahun ini. Dunia usaha terus meningkatkan produksi dan serapan tenaga kerja.
Akan tetapi, lanjut Pan, ada masalah baru yaitu ketersendatan pasokan alias supply constraints. Tingginya permintaan belum bisa diimbangi oleh produksi, terutama untuk pasokan bahan baku. Sisi distribusi juga tersendat, karena ternyata kontainer yang beroperasi belum cukup untuk melayani permintaan yang tinggi.
Sumber CNBC Indonesia