Nilai tukar rupiah tertahan di zona merah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pertengahan perdagangan Selasa (26/10). Padahal, di awal perdagangan pagi tadi sempat menguat cukup signifikan. Pelaku pasar yang masih wait and see membuat rupiah sulit mempertahankan penguatan.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,11& ke Rp 14.140/US$. Setelahnya, apresiasi rupiah sempat bertambah menjadi 0,18%, tetapi perlahan berbalik melemah hingga 0,11% di Rp 14.170/US$ pada pukul 12:00 WIB.
Di sisa perdagangan hari ini, rupiah masih berpeluang untuk kembali menguat terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih tidak berbeda jauh siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Di pekan ini setidaknya ada 2 data yang akan mempengaruhi pergerakan pasar mata uang, khususnya melawan dolar AS, dan membuat pelaku pasar wait and see.
“Ada banyak event yang berisiko besar di pekan ini, dan dolar AS yang sedang melemah dalam dua pekan terakhir kini mulai diborong lagi oleh pelaku pasar” kata Joseph Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (25/10).
Amerika Serikat akan merilis data produk domestik bruto (PDB), hasil polling Reuters menunjukkan produk domestik bruto (PDB) AS “hanya” tumbuh 2,8% di kuartal III-2021, melambat dari sebelumnya 6,7%.
Rilis PDB AS jika lebih rendah dari prediksi tentunya akan memundurkan lagi ekspektasi kenaikan suku bunga. Apalagi, ketua bank sentral AS (The Fed) pada pekan lalu sekali lagi menegaskan belum saatnya menaikkan suku bunga.
“Saya berfikir sekarang saatnya melakukan tapering, saya tidak berfikir sekarang saatnya menaikkan suku bunga,” kata Powell dalam konferensi virtual Jumat (23/10), sebagaimana diwartakan Reuters.
Data PDB Amerika Serikat akan dirilis pada Kamis (28/10), sehari setelahnya akan dirilis data inflasi versi personal capital expenditure (PCE).
Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi PCE Inti tumbuh 3,7% year-on-year (YoY) di bulan September, lebih dari dari bulan sebelumnya 3,6% YoY yang merupakan level tertinggi dalam 3 dekade terakhir.
Jika rilis tersebut sesuai prediksi, maka kecemasan akan stagflasi akan semakin meningkat, dan dolar AS yang akan diuntungkan sebab menyandang status safe haven.
Sumber CNBC Indonesia