Setelah tertekan nyaris sepanjang pekan lalu, rupiah akhirnya “mengamuk” di awal perdagangan Senin (10/1). Dolar Amerika Serikat (AS) langsung dibuat jeblok hingga menembus ke bawah Rp 14.300/US$.
Melansir data Refinitiv, begitu bel perdagangan berbunyi rupiah langsung melesat 0,45% ke Rp 14.290/US$ di pasar spot, setelah merosot 0,74% sepanjang pekan lalu.
Rupiah sebenarnya masih cukup kuat secara fundamental, tetapi pada pekan lalu dolar AS memang sedang perkasa pasca rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed (bank sentral AS) yang menunjukkan normalisasi kebijakan bisa dilakukan lebih cepat lagi ketimbang ekspektasi pasar.
Namun, pada perdagangan Jumat pekan lalu, indeks dolar AS jeblok hingga 0,62% ke 95,718, yang membuat rupiah pagi ini mampu menguat tajam.
Penyebab jebloknya indeks dolar AS adalah data tenaga kerja AS yang bervariasi. Perekrutan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP) dilaporkan sebanyak 199.000 orang di bulan Agustus, turun dari bulan sebelumnya 249.000 orang, juga jauh di bawah prediksi pasar yang memperkirakan lebih dari 400.000 orang.
Sementara itu tingkat pengangguran dilaporkan turun menjadi 5,9% dari sebelumnya 6%, dan rata-rata upah per jam juga naik 0,6% lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,4%.
Meski demikian, pasar lebih melihat dartra NFP ketimbang dua lainnya, sebab mencerminkan kemampuan perekonomian AS menciptakan dan menyerap tenaga kerja.
Namun, di sisi lain, yield obligasi (Treasury) AS yang sedang tinggi membuat penguatan rupiah bisa terbatasi. Yield Treasury tenor 10 tahun sepanjang pekan lalu melesat 25,3 basis poin ke 1,7655% yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2020, atau sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Kenaikan tersebut dipicu rilis notula The Fed edisi Desember tersebut menunjukkan selain bisa menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali, bank sentral paling powerful di dunia ini juga berpeluang mengurangi nilai neracanya (balance sheet). Artinya The Fed bisa menjual obligasi dan surat berharga yang dimiliki, sehingga likuditas akan diserap lagi sehingga semakin ketat.
Hal tersebut dilalukan guna meredam inflasi yang sangat tinggi di Amerika Serikat. Tetapi efek lain yang ditimbulkan yakni yield obligasi (Terasury) AS mengalami lonjakan.
Kenaikan yield Treasury tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia yang pada akhirnya menekan rupiah.
Sumber CNBC Indonesia