Nilai tukar rupiah menguat 0,28% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.480/US$ pada perdagangan Senin kemarin, setelah sebelumnya sukses menghentikan rekor buruk tidak pernah menguat secara mingguan dalam 9 pekan beruntun.
Indeks dolar AS yang terus merosot membuat rupiah mampu leluasa menguat. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini Senin kemarin melemah tipis 0,06%, setelah merosot nyaris 1% pada pekan lalu. Indeks dolar AS bahkan sudah melemah dalam 3 pekan beruntun, dengan persentase 2,33%.
Namun, pagi ini indeks dolar AS berbalik naik 0,15% ke 90,942, yang berisiko membuat rupiah tertekan.
Kasus penyakit virus corona (Covid-19) yang kembali meningkat di Eropa membuat dolar AS yang menyandang status safe haven kembali menjadi sasaran investasi. Hal tersebut bisa membuat dolar AS yang sudah tertekan dalam 3 hari terakhir “mengamuk”.
Jerman, salah satu negara yang menghadapi kenaikan kasus Covid-19 dan sudah menerapkan aturan pembatasan aktivitas masyarakat yang lebih ketat dan bakal berlaku hingga Juni nanti.
Secara teknikal, rupiah yang kembali ke bawah Rp 14.500/US$ tentunya mendapat momentum penguatan.
Potensi penguatan rupiah diperbesar dengan munculnya stochastic bearish divergence. Stochastic dikatakan mengalami bearish divergence ketika grafiknya menurun, tetapi harga suatu aset masih menanjak.
Munculnya stochastic bearish divergence kerap dijadikan sinyal penurunan suatu aset, dalam hal ini USD/IDR bergerak turun, atau rupiah akan menguat.
Rupiah masih berada di atas rerata pergerakan (moving average) MA 200 hari, sebelumnya juga sudah melewati MA 50 (garis hijau), dan MA 100 (garis oranye). Artinya rupiah kini bergerak di atas 3 MA yang menjadi penghalang rupiah untuk menguat jauh.
Support terdekat berada di kisaran Rp 14.450-14.470/US$. Penembusan ke bawah level tersebut akan membuka ruang penguatan lebih jauh di pekan ini setidaknya menuju Rp 14.420 hingga 14.390/US$.
Namun, jika kembali ke atas Rp 14.500/US$, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.530 hingga Rp 14.550/US$.
Sumber CNBC Indonesia