Skip to content

Rupiah Sudah Dekati Rp 14.000/US$, BI Kekeuh Masih Kemurahan!

  • by

Nilai tukar rupiah sudah semakin mendekati level Rp 14.000/US$ belakangan ini. Meski mengalami apresiasi di hadapan greenback di awal tahun 2021, Bank Indonesia masih menilai rupiah ‘kemurahan’ alias undervalued.

Di pasar spot untuk US$ 1 sudah dibanderol di Rp 14.030/US$. Sementara berdasarkan kurs acuan BI yaitu Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) rupiah dipatok di Rp 14.086/US$ per 26 Januari 2021.

Rupiah terus mengalami penguatan yang tajam sejak awal November tahun lalu. Kala itu rupiah masih di atas Rp 14.500/US$. Namun rupiah mengalami penguatan yang signifikan hingga mendekati level psikologisnya di Rp 14.000/US$.

Bahkan di awal Januari 2021, rupiah sempat menguat ke Rp 13.885/US$ di pasar spot. Atau hampir mendekati level awal tahun 2019.

Apresiasi rupiah ini dilandasi oleh beberapa faktor. Pertama tentu terkait sentimen global dan domestik yang membaik, terutama akibat dimulainya program vaksinasi Covid-19 secara masal di banyak negara seperti AS, Inggris, Eropa bahkan Asia termasuk Indonesia.

Dengan adanya vaksinasi diharapkan ekonomi yang sekarat bisa mulai pulih. Bank Dunia dalam laporan terbarunya memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) RI untuk tahun ini berada di angka 4,4%.

Kendati BI memangkas suku bunga acuan (BI-7 Day Reverse Repo Rate) secara agresif sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang tahun 2020 dan untuk pertama kalinya dalam sejarah independensi bank sentral RI melakukan kebijakan quantitative easing (QE), rupiah tetap lanjut menguat. 

Maklum, Federal Reserves (The Fed) sebagai bank sentral paling berpengaruh di dunia lebih agresif lagi dalam memangkas suku bunga acuannya. Fed Fund Rates dibabat habis oleh otoritas moneter Paman Sam ke level zero lower bound.

The Fed juga kembali melakukan kebijakan cetak uang (QE) seperti yang dilakukan saat krisis keuangan global tahun 2008. Saat itu The Fed butuh waktu lebih dari 3 tahun untuk menginjeksi likuiditas melalui QE dengan nilai US$ 3 triliun.

Kali ini, saat pandemi Covid-19 merebak dan membuat perekonomian global jatuh ke dalam resesi terparah sejak The Great Depression 1929, The Fed mencetak lebih dari US$ 3 triliun hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun.

Kebijakan moneter ultra longgar yang dibarengi dengan kebijakan fiskal ekspansif di AS melalui stimulus lebih dari US$ 2,3 triliun (10% PDB) di era Trump membuat dolar AS melemah. Di sepanjang tahun 2020 indeks dolar yang mengukur keperkasaan greenback drop hampir 7%. 

Imbal hasil aset keuangan berisiko rendah berupa surat utang pemerintah AS anjlok signifikan. Yield nominalnya kini berada di angka 1%. Namun secara riil setelah dikurangi inflasi 1,2% maka imbal hasil sebenarnya minus 0,2%.

Pelaku pasar dan investor pun beralih ke aset-aset berisiko seperti saham hingga cryptocurrency yang memberikan cuan lebih tebal dan membuat kedua aset keuangan ini harganya pecah rekor sampai ke level tertinggi sepanjang sejarah (all time high).

Investor juga melirik aset-aset keuangan di negara berkembang yang memberikan imbal hasil menarik. Tak terkecuali di Tanah Air. Imbal hasil nominal SBN tenor 10 tahun masih di angka 6%.

Apabila dikurangi inflasi 1,6% maka imbal hasil riilnya masih 4,4%. Ada selisih (spread) 4,6 poin persentase dengan imbal hasil riil obligasi pemerintah AS. Hal ini memicu aliran modal asing masuk ke Indonesia baik ke pasar obligasi maupun pasar ekuitas.

Apalagi jika melihat nilai kapitalisasi pasar saham-saham Indonesia yang cenderung modestly undervalued sekitar 40% dari PDB dibanding valuasi pasar saham AS yang sudah ketinggian hampir 200% dari PDB-nya.

Dalam Tinjauan Kebijakan Moneter terbaru, BI mencatat di kuartal IV tahun lalu ada aliran modal asing ke pasar keuangan RI mencapai US$ 2,1 miliar. Ada pembalikan arah menjadi inflow dari outflow di kuartal ketiga sebesar US$ 1,7 miliar di kuartal ketiga. Jelas ini mendongkrak penguatan nilai tukar rupiah.

Sumber CNBC Indonesia

You cannot copy content of this page