Rupiah belum mampu kembali ke zona hijau pada perdagangan Jumat (6/8/2021) setelah kemarin menghentikan tren penguatan dalam 6 hari beruntun. Pelaku pasar kini menanti rilis data cadangan devisa dari Indonesia, serta yang paling penting rilis data tenaga kerja Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.340/US$, tetapi tidak lama langsung melemah 0,14% ke Rp 14.360/US$ pada pukul 9:10 WIB.
Sebelumnya dalam 3 hari pertama pekan ini, rupiah mampu mencatat penguatan lebih dari 1% dan menyentuh level terkuat sejak pertengahan Juni lalu. Akibatnya, rupiah pun diterpa aksi ambil untung (profit taking) sejak kemarin.
Bank Indonesia (BI) hari ini akan merilis data cadangan devisa Indonesia yang bisa menjadi penggerak rupiah. Trading Economics memperkirakan cadangan devisa bakal naik menjadi US$ 138 miliar per akhir Juli, naik dari sebelumnya US$ 137,09 miliar.
Peningkatan cadangan devisa berarti Bank Indonesia (BI) akan punya lebih banyak “amunisi” untuk menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak.
Di sisi lain, dolar AS yang sebelumnya melempem perlahan mulai bangkit setelah beberapa pejabat bank sentral AS (The Fed) mengindikasikan tapering bisa dilakukan di tahun ini.
“Anda duduk di sini dan melihat inflasi sudah jauh di atas target dan pasar ketenagakerjaan terus membaik menuju level pra-pandemi. Menurut saya, ini terdengar seperti kami harus bersiap,” kata Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, dalam wawancara bersama Washington Post.
Clarida memperkirakan The Fed akan mulai mengurangi quantitative easing pada akhir tahun ini. Namun suku bunga acuan mungkin masih akan bertahan rendah hingga tercapai kondisi penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).
“Saya menilai kondisi untuk menaikkan suku bunga acuan baru akan tercapai pada akhir 2022. Jadi normalisasi kebijakan pada 2023 adalah sesuatu yang konsisten dengan target kami,” lanjut Clarida.
Sebelumnya, Presiden The Fed Dallas Robet Kaplan juga berpendapat bahwa pengurangan quantitative easing bisa dilakukan dengan segera. Demikian pula menurut James Bullard, Presiden The Fed St Louis.
Meski demikian, pelaku pasar juga menanti rilis data tenaga kerja AS hari ini. Data tenaga kerja AS merupakan salah satu acuan The Fed dalam melakukan tapering. Hasil polling yang dilakukan Reuters menunjukkan tingkat pengangguran AS di bulan Juni turun menjadi 5,7% dari bulan sebelumnya 5,9%. Sementara perekrutan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sebanyak 880.000 orang, lebih tinggi dari bulan Mei 850.000 orang.
Namun, data tenaga kerja versi Automatic Data Processing Inc. (ADP) yang dirilis Rabu lalu mengecewakan. ADP kemarin melaporkan sepanjang bulan Juli perekonomian AS mampu menyerap 330.000 tenaga kerja, turun lebih dari setengah dari bulan sebelumnya 680.000 tenaga kerja, serta jauh di bawah prediksi kenaikan menjadi 695.000 tenaga kerja.
Data ADP kerap dijadikan acuan rilis data tenaga kerja versi pemerintah, jika mengecewakan juga maka dolar AS akan kembali terpuruk.
Sumber CNBC Indonesia