Rupiah melemah tipis 0,03% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.395/US$ pada perdagangan Rabu kemarin. Sementara pasar keuangan dalam negeri libur pada perdagangan hari ini, Kamis (11/3/2021). Seandainya tidak libur rupiah sudah pasti perkasa dan membuat dolar AS babak belur.
Hal tersebut terindikasi dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang jauh lebih kuat hari ini ketimbang beberapa saat sebelum penutupan perdagangan Rabu kemarin.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Selain itu, mata uang Asia juga mayoritas menguat melawan dolar AS, menjadi indikasi the greenback sedang lesu.
Hingga pukul 10:55 WIB, baht Thailand memimpin penguatan sebesar 0,36%, disusul ringgit Malaysia sebesar 0,24%.
Lesunya dolar AS terlihat dari indeksnya yang turun 0,05% ke 91,768. Sebelumnya, dalam 2 hari terakhir indeks dolar AS juga turun dengan total 0,53%.
Penurunan yield obligasi (Treasury) AS dalam 2 hari terakhir membuat kecemasan akan terjadinya taper tantrum mereda, dolar AS akhirnya melemah.
Pada perdagangan Selasa, yield Treasury tenor 10 tahun turun 5 basis poin, kemudian kemarin turun lagi 2,4 basis poin.
Sebelumnya terus menanjaknya yield Treasury hingga ke level pra pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) membuat pelaku pasar cemas akan kemungkinan terjadinya taper tantrum. Tidak hanya pasar AS, tapi pasar global juga dibuat cemas.
Kenaikan yield Treasury terjadi akibat ekspektasi perekonomian AS akan segera pulih, dan inflasi akan meningkat. Saat inflasi meningkat, maka berinvestasi di Treasury menjadi tidak menguntungkan, sebab yield-nya lebih rendah. Alhasil pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury, dan yield-nya menjadi naik.
Kenaikan yield akibat ekspektasi pemulihan ekonomi dan kenaikan inflasi tersebut juga membuat pelaku pasar melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kemungkinan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Taper tantrum terjadi dilakukan pada 2013-2015 lalu, dan memicu gejolak di pasar keuangan global yang disebut taper tantrum. Saat itu, rupiah menjadi korban, dengan pelemahan lebih dari 50%.
Sumber CNBC Indonesia