Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) di pekan ini sudah mulai dibicarakan para analis.
Alhasil, dolar AS masih fluktuatif, dan rupiah mampu menguat hingga pertengahan perdagangan Senin (26/7/2021).
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% ke Rp 14.500/US$, setelahnya rupiah sempat menyentuh RP 14.505/US$ yang menjadi level terlemah hari ini.
Tidak lama, rupiah langsung menguat hingga 0,21% ke Rp 14.460/US$. Tetapi penguatan tersebut terpangkas, rupiah berada di Rp 14.480/US$ atau menguat 0,07% di pasar spot pada pukul 12:00 WIB.
Pergerakan dolar AS tersebut menunjukkan adanya perbedaan pandangan di pasar terkait kebijakan The Fed. Ada analis yang memprediksi The Fed akan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dalam waktu dekat.
Analis lain malah memprediksi bank sentral paling powerful di dunia akan menjadi yang paling telat dalam melakukan normalisasi suku bunga.
Analis dari Commonwealth Bank of Australia (CBA) menjadi yang memprediksi The Fed akan memberikan sinyal waktu tapering sudah dekat, dan akan membuat dolar AS perkasa.
“Kita memperkirakan komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) akan menghilangkan kata ‘substansial’ dari ‘kemajuan substansial lebih lanjut’ dalam panduan kebijakannya” kaya analis dari CBA Joseph Capurso dalam sebuah catatan kepada nasabahnya, sebagaimana dikutip CNBC International, Senin (26/7/2021).
“Menghilangkan kata ‘substansial’ akan menjadi sinyal FOMC yakin dalam waktu dekat akan melakukan pengurangan nilai QE, dan pengumuman tapering resmi akan dilakukan di bulan September nanti” tambahnya.
Sementara itu, Eric Nelson, ahli strategi makro di Well Fargo Securities yang berada di New York mengatakan tidak yakin dolar AS akan mampu mempertahankan penguatan dalam beberapa pekan ke depan, sebab yield obligasi (Treasury) AS sedang mengalami penurunan.
“Dolar AS terlihat lelah setelah reli dalam beberapa pekan terakhir. Dolar AS terlihat kehilangan momentum, baik dari perspektif fundamental maupun teknikal,” kata Nelson, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (22/7/2021).
Pada pekan lalu, indeks dolar AS mencapai level tertinggi sejak awal April di 93,191. Kenaikan indeks dolar AS tersebut berbanding terbalik dengan yield Treasury AS tenor 10 tahun yang menyentuh level terendah sejak pertengahan Februari 1,128%. Yield Treasury kini menuju penurunan dalam 4 bulan beruntun. Sejak akhir Maret hingga saat ini, yield tersebut sudah turun lebih dari 50 basis poin.
Pergerakan yield Treasury sering dikaitkan dengan suku bunga di AS. Ketika yield Treasury naik, pelaku pasar berekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan mengetatkan kebijakan moneter dengan tapering hingga menaikkan suku bunga.
Sehingga ketika yield Treasury mengalami penurunan, artinya ekspektasi pengetatan moneter meredup.
Nelson saat ini yakin, The Fed akan menjadi salah satu bank sentral di dunia yang tertinggal atau paling telat dalam melakukan normalisasi kebijakan moneter.
Rupiah berpeluang mempertahankan penguatan di sisa perdagangan hari ini, tercermin dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum penutupan perdagangan.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Sumber CNBC Indonesia