Nilai tukar melanjutkan tren penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (11/1) dan kembali menembus ke bawah Rp 14.300/US$. Sebelumnya, rupiah sudah menguat 2 hari beruntun dengan total persentase sebesar 0,59%.
Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,14% ke Rp 14.285/US$. Apresiasi rupiah bertambah hingga 0,31% ke Rp 14.260/US$, sebelum kembali ke level opening pada pukul 9:05 WIB.
Rupiah masih mampu menguat meski indeks dolar AS kemarin bangkit dan menguat 0,28% kemarin. Tetapi di sisi lain, yield obligasi (Treasury) AS turun 1,05 basis poin setelah melesat selama 5 hari. Koreksi yield Treasury bisa meredakan tekanan di pasar obligasi Indonesia. Sebab, semakin tinggi yield Treasury, risiko terjadinya capital outflow semakin besar yang dapat menekan rupiah.
Perhatian utama masih tertuju ke normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Dalam rapat kebijakan moneter Desember lalu, The Fed mempercepat tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) hingga berakhir pada Maret 2022.
Tidak hanya itu, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini juga memproyeksikan kenaikan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini.
Ternyata tidak sampai di sana, dalam notula yang dirilis pekan lalu, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan.
Pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual kepemilikan obligasi da surat berharganya, sehingga akan menyerap likuiditas di pasar. Notula tersebut memberikan kejutan di pasar finansial, The Fed ternyata jauh lebih agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya. Rupiah pun tertekan pada pekan lalu.
Kini, bank investasi ternama, Goldman Sachs bahkan memperkirakan suku bunga acuan AS akan naik empat kali pada 2022.
Perhatian kini tertuju pada Powell yang akan memberikan testimoninya di hadapan Senat AS hari ini. Selain itu, data inflasi yang akan dirilis besok bisa memperkuat spekulasi kenaikan suku bunga di bulan Maret. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Desember diperkirakan tumbuh 7% year-on-year (YoY).
Pelaku pasar kini melihat probabilitas lebih dari 90% The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.
“The Fed sepertinya akan merasakan tekanan dari inflasi yang tinggi dan terdorong untuk memulai siklus kenaikan suku bunga di bulan Maret,” kata Elsa Lignos, Kepala Strategi Valas Global di RBC Capital Markets, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (10/1).
Meski The Fed diperkirakan akan agresif menormalisasi kebijakannya, tetapi nyatanya rupiah masih cukup kuat dalam tiga hari terakhir, yang biasa menjadi modal bagus mengarungi tahun 2022.
Sumber CNBC Indonesia