Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (15/3/2021), mendekati lagi Rp 14.400/US$. Yield obligasi (Treasury) AS yang masih tinggi memberikan tekanan ke rupiah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.380/US$. Setelahnya rupiah langsung melemah 0,1% ke Rp 14.395/US$, dan tertahan di level tersebut hingga pukul 12:00 WIB.
Rupiah terlihat sulit untuk bangkit di sisa perdagangan hari ini, melihat pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan hari ini.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Dolar AS masih perkasa hingga akibat yield obligasi (Treasury) yang masih tinggi. Pada pekan lalu, yield Treasury tenor 10 tahun naik 8,1 basis poin ke 1,635%, level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2020 lalu, sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0.25%.
Melesatnya yield Treasury ke level pra pandemi tersebut terjadi akibat ekspektasi pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi. Alhasil, para pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury yang membuat yield-nya menjadi naik.
Selain itu, ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari prediksi serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melihat ada peluang The Fed akan mengurangi program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering, yang bisa memicu taper tantrum.
Taper tantrum pernah terjadi pada 2013 hingga 2015, saat itu kurs rupiah melemah hingga lebih dari 50%.
Saking kuatnya dolar AS, rilis data dari dalam negeri yang menunjukkan kenaikan impor belum mampu membuat rupiah bangkit.
Badan Pusat Statistik melaporkan data ekspor-impor Indonesia bulan Februari hari ini.
Pada periode tersebut, total ekspor tercatat US$ 15,27 miliar atau mengalami kenaikan 8,56% dibandingkan pada Februari 2020 (year-on-year/YoY) yang mencapai US$ 14,06 miliar.
Sementara impor Indonesia pada Februari 2021 tercatat sebesar US$ 13,26 miliar, naik 14,86% dibanding Februari 2020.
Kenaikan impor tersebut menjadi yang pertama setelah berkontraksi selama 19 bulan beruntun. Kenaikan impor tersebut menjadi kabar baik, sebab menjadi pertanda perekonomian dalam negeri mulai menggeliat.