Nilai tukar rupiah merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada pertengahan perdagangan Kamis (17/6/2021) hingga mendekati Rp 14.400/US$. Bank sentral AS (The Fed) yang mengumumkan kebijakan moneter dini hari tadi membuat dolar AS menguat tajam, dan rupiah terpukul.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,11% di Rp 14.250/US$. Setelahnya, Mata Uang Garuda terus terdepresiasi hingga 0,95% ke Rp 14.370/US$.
Posisi rupiah sedikit membaik, pada pukul 12:00 WIB berada di Rp 14.350/US$, melemah 0,81%.
Pada perdagangan Rabu, indeks dolar AS melesat nyaris 1% ke 91,395 setelah The Fed mengindikasikan suku bunga akan naik pada tahun 2023. Tidak hanya sekali tetapi dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, di mana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022. Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) masih belum terjawab. Isu tersebut selama ini membuat rupiah sulit menguat meski didukung fundamental dari dalam negeri yang bagus.
Maklum saja, tapering dapat memicu taper tantrum, dan pernah terjadi pada tahun 2013. Saat itu, rupiah terpukul hebat.
The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.
Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.
“Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi,” kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).
Sumber CNBC Indonesia