Memburuknya sentimen pelaku pasar membuat rupiah melemah tajam melawan dolar Amaerika Serikat (AS) di awal perdagangan Jumat (26/11). Mata Uang Garuda kembali menembus Rp 14.300/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis saja 0,04% ke Rp 14.270/US$. Tetapi setelahnya rupiah jeblok hingga 0,42% ke Rp 14.325/US$.
Memburuknya sentimen pelaku pasar terlihat dari bursa saham Asia yang nyungsep pagi ini, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga kembali ke zona merah.
Indeks Nikkei Jepang bahkan ambrol lebih dari 2%, kemudian Hang Seng Hong Kong merosot lebih dari 1,5%. Sementara IHGS di 10 menit perdagangan sempat turun lebih dari 0,4%.
Penyebabnya, lonjakan kasus penyakit akibat virus corona di Eropa serta munculnya varian baru yang menjadi perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organizations/WHO).
Varian baru virus corona B.1.1.529 ditemukan di Afrika Selatan, yang dikatakan mengandung beberapa mutasi yang terkait dengan peningkatan resistensi antibodi. Ini diyakini ilmuwan dapat mengurangi efektivitas vaksin.
Sementara itu, WHO sendiri mengatakan tengah meminta pertemuan darurat untuk memantau varian itu. Ini penting di tengah makin melonjaknya kasus Covid-19 di Eropa dan dunia yang memasuki musim liburan akhir tahun. Beberapa negara di Eropa juga sudah mengumumkan lockdown akibat lonjakan kasus yang dialami.
Munculnya varian baru tersebut membuat Inggris mengumumkan akan melarang kembali penerbangan dari enam negara Afrika. Hal ini berlaku mulai Jumat ini.
“Badan Keamanan Kesehatan Inggris sedang menyelidiki varian baru,” kata Menteri Kesehatan Sajid Javid dalam sebuah tweet yang mengumumkan pembatasan perjalanan.
“Lebih banyak data diperlukan tetapi kami mengambil tindakan pencegahan sekarang.”
Virus corona yang kembali meneror tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk. Dalam kondisi tersebut dolar AS yang dianggap safe haven akan diuntungkan.
Apalagi, dolar AS saat ini sedang kuat-kuatnya sebab The Fed (bank sentral AS) kemungkinan akan mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.
Beberapa pejabat elit The Fed menyerukan untuk mempercepat tapering dan menaikkan suku bunga lebih awal guna meredam tingginya inflasi.
Terbaru di pekan ini Presiden The Fed wilayah San Fransisco, Mary Daly, juga mengatakan bisa saja mempercepat laju tapering. Daly merupakan salah satu pejabat The Fed yang dianggap dovish, tetapi pernyataanya tersebut lebih hawkish, sehingga bisa menjadi indikasi akan ada banyak desakan dari pejabat elit The Fed untuk mempercepat normalisasi.
“Pernyataan yang agak hawkish dari Daly yang biasanya dovish membuat dolar AS bertambah kuat,” kata Tapas Strickland, direktur ekonomi di National Australia Bank dalam sebuah catatan kepada nasabahnya, sebagaimana dikutip CNBC International, Kamis (25/11).
Sumber CNBC Indonesia