Rupiah dalam dua hari terakhir melemah tipis-tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS), masing-masing 0,07%. Di awal perdagangan hari ini, Rabu (24/11), rupiah kembali melemah tipis jelang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan “Super Hot”
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% ke Rp 14.265/US$. Depresiasi bertambah menjadi 0,14% ke Rp 14.275/US$ pada pukul 9:10 WIB.
Amerika Serikat mala mini akan merilis data inflasi AS versi personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan suku bunga. Oleh karena itu, data ini bisa memicu pergerakan besar di pasar finansial global, dan berdampak ke dalam negeri Kamis besok.
Hasil polling Reuters memperkirakan Inflasi inti PCE tumbuh 4,1% year-on-year (YoY) di bulan Oktober, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 3,6% YoY yang merupakan level tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Artinya, inflasi akan sangat tinggi alias “super hot” jika dirilis sesuai prediksi.
Pelaku pasar kini melihat, Powell yang sebelumnya selalu menyatakan “bersabar” dalam menaikkan suku bunga, kini akan menjadi agresif akibat lonjakan inflasi.
Semakin tinggi inflasi PCE maka spekulasi laju tapering akan dipercepat akan semakin menguat. Spekulasi kenaikan suku bunga lebih cepat juga akan menyusul.
“Tekanan semakin kuat bagi The Fed untuk segera bertindak merespon kenaikan inflasi. Tidak hanya dari anggota dewan The Fed yang hawkish, tekanan juga datang dari akademisi progresif dan reka-rekan sesame bank sentral,” kata Steven Ricchiuto, ekonom di Mizuho Securities, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (23/11).
Sebelumnya pada Jumat pekan lalu, setelah Dewan Gubernur The Fed, Christoper Waller menyerukan agar The Fed melipat gandakan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sehingga bisa berakhir di bulan April tahun depan dan bisa menaikkan suku bunga di kuartal II-2022.
“Pemulihan pasar tenaga kerja yang cepat serta tingginya inflasi mendorong saya untuk melakukan tapering lebih cepat dan tidak lagi menerapkan kebijakan akomodatif di 2022,” kata Waller sebagaimana diwartakan Reuters, Jumat (22/11).
Waller juga mengatakan seandaianya terjadi gejolak di pasar finansial akibat The Fed mempercepat tapering, maka efeknya hanya sementara saja.
“Semua gejolak yang terjadi hanya sementara dan lama-kelamaan akan mereda. Secara logika The Fed tidak akan merespon gejolak yang terjadi, tetapi terkadang melakukannya. Kebijakan moneter The Fed yang tepat digunakan untuk merespon inflasi,” tambahnya.
Selain Waller, wakil ketua The Fed, Richard Clarida juga melontarkan pernyataan yang sama.
“Saya akan melihat data-data yang kami dapatkan mulai saat ini hingga rapat kebijakan moneter di bulan Desember, dan kemungkinan menjadi waktu yang tepat untuk mempercepat laju tapering,” kata Clarida saat berbicara di San Francisco Fed’s 2021 Asia Economic Policy Conference, Sabtu (20/11).
Sumber CNBC Indonesia