Jelang pengumuman kebijakan moneter oleh bos-bos Bank Indonesia (BI) di MH Thamrin, nilai tukar rupiah cenderung menguat. Hal ini didukung oleh peluang BI yang akan mempertahankan suku bunga acuannya.
Total BI sudah memangkas 150 basis poin BI-7 Day Reverse Repo sepanjang pandemi Covid-19 melanda. Besarnya pemangkasan suku bunga sudah setara dengan penurunan Federal Funds Rate/FFR yang kini dijaga di kisaran mendekati nol persen.
Untuk bulan Mei ini, konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia terhadap 10 ekonom di institusi yang berbeda menunjukkan bahwa BI bakal menahan suku bunga acuan di level terendahnya sepanjang masa yaitu 3,5%.
Selisih (spread) suku bunga antara AS dan Indonesia yang masih terpaut 350 basis poin serta tingkat inflasi di Indonesia yang masih lebih rendah dibandingkan dengan AS untuk bulan April lalu (1,42% yoy vs 4,2% yoy) seharusnya mendukung penguatan nilai tukar rupiah.
Di arena pasar spot hingga perdagangan tengah hari ini, nilai tukar rupiah berhasil menguat 0,13% di hadapan greenback. Untuk US$ 1 kini dibanderol di Rp 14.330 atau sedikit menjauhi Rp 14.300.
Perbedaan suku bunga yang masih lebih tinggi di Indonesia dengan inflasi yang lebih rendah membuat aset-aset keuangan dalam negeri menjadi lebih menarik. Imbal hasil riil obligasi pemerintah yang menjadi benchmark juga tetap positif.
Hal tersebut mendukung terjadinya aliran modal masuk asing (capital inflow) yang menjadi salah satu motor penggerak rupiah ketika dilihat dari sisi fundamentalnya seperti transaksi berjalan dan pertumbuhan ekonomi-nya rapuh.
Namun dengan adanya tingkat inflasi yang tinggi di AS ditambah lagi angka pengangguran yang terus menurun, anggota komite pengambil kebijakan The Fed sudah mulai mewacanakan untuk menyedot likuiditas yang berlimpah di sistem keuangan (tapering).
Saat pandemi Covid-19 melanda dan lockdown terjadi di mana-mana, masyarakat cenderung ogah berbelanja. Investor menarik semua uangnya dan memilih menimbun uang tunai atau cash. Bank cenderung menahan diri untuk menyalurkan kredit. Likuiditas di pasar sempat seret dan shock pun terjadi.
Saat itu The Fed langsung ambil tindakan membabat habis suku bunga acuan dan mulai melakukan kebijakan quantitative easing (QE) yang sering disebut money printing untuk memompa likuiditas ke sistem keuangan.
Ketika inflasi mulai meningkat sebagai akibat berlimpahnya likuiditas dan pembukaan ekonomi secara gradual, The Fed mulai ancang-ancang menyedotnya. Apabila tapering dilakukan lebih dini dari perkiraan pasar maka hal ini bisa menimbulkan guncangan di pasar.
Aliran dana asing yang tadinya membanjiri negara-negara berkembang seperti Indonesia berpotensi keluar. Rupiah yang kecanduan hot money juga berpeluang tertekan.
Jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memang mulai mengerem dukungan likuiditas ke pasar yang selama ini dijalankan melalui kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE), maka dana global berpeluang berbalik ke AS dan menyerbu surat berharga mereka yang membagikan imbal hasil lebih tinggi (karena terpengaruh inflasi).
Di tengah situasi demikian, maka kebijakan menahan suku bunga acuan nasional bakal menjadi pilihan ideal yang berpeluang direspon positif pasar. Mereka akan tetap nyaman memegang aset investasi berdenominasi rupiah, sehingga rupiah pun berpeluang terbantu secara psikologis.
Sumber CNBC Indonesia